Showing posts with label Socratez Sofyan Yoman. Show all posts
Showing posts with label Socratez Sofyan Yoman. Show all posts

Surat.Gembala: TNI harus belajar sejarah proses politik penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia

SURAT GEMBALA

Perihal: TNI harus belajar sejarah proses politik penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia


Kepada Yang Terkasih,
Saudara Pangdam XVII Cenderawasih
Di Jayapura


Shalom!

Berkaitakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang paling kejam dan biadab dilakukan aparat keamanan anggota TNI yang sedang viral dalam bentuk vidio dan beredar secara masif ini sangat mengganggu nurani kemanusiaan kita semua dan tentu saja saya sebagai Gembala sekaligus sebagai bagian dari Penduduk Orang Asli Papua.

Perilaku aparat keamanan anggota TNI yang dipertontonkan penyiksaan terhadap seorang POAP yang dimasukkan dalam drum ini sungguh-sungguh diluar batas-batas wilayah rasa kemanusiaan yang dapat mencederai dan melukai hati kami POAP.

Saudara Pangdam, perilaku anggota TNI ini terlihat paling biadab, kejam, brutal, barbar, dan seperti berwatak teroris yang dikemas kebencian rasis dari aparat keamanan terhadap kami Penduduk Orang Asli pemilik Tanah ini.

Saudara Pangdam, kekejaman ini HANYA pengulangan peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelumnya, 
pada 10 Maret 2010 Pasukan TNI Batalyon Infanteri Yonif 756 yang menangkap Pendeta Kindeman Gire dan alat vitalnya dibakar dengan pisau sangkur panas dan meninggal dunia. Ada pula 17 Maret 2010 dan 30 Mei 2010 di Kampung Gurage Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, pasukan Yonif 753 menangkap dua warga sipil, Telangga Gire dengan Anggenpugu Gire dan interogasi, menendang dan menyiksa mereka dan TNI sendiri membuat vidio dan vidio itu menjadi viral di media sosial dan dipersoalkan oleh lembaga internasional PBB. KOMNAS HAM pernah menetapkan Kasus ini Pelanggaran HAM serius. (Sumber: Tempo Interaktif, 5 Januari 2021).

Belum lupa dalam ingatan kita kasus mutilasi yang terjadi pada 22 Agustus 2023 di kabupaten Mimika, ketika empat warga Nduga, yaitu Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Atis Tini, dan Lemaniol Nirigi pergi ke Timika untuk berbelanja. Pembunuhan dan mutilasi ini melibatkan enam anggota TNI aktif dan empat warga sipil sebagai pelaku.

Peristiwa 7 Februari dan 24 Februari 2024 di Yahukimo satu warga sipil yang tewas ditangan TNI dan dua pemuda warga sipil berinisial MH dan BGE ditangkap, diikat, ditahan dan disiksa. 

Saudara Pangdam, masih banyak rekaman kekejaman dan kejahatan militer di Tanah ini sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang. Kapan berakhir kekejaman dan kejahatan ini terhadap kami POAP?

Saudara Pangdam, perilaku ABRI (kini:TNI) yang paling kejam, brutal, barbar, rasis, fasis dan tidak mengenal rasa keadilan dan kemanusiaan itu dimulai sejak 19 Desember 1961, 1 Mei 1963 dan lebih terang terbukti dalam perampokan hak politik kami POAP pada Pepera 1969. Watak kejam militer itu belum pernah berubah tetapi kekejaman itu semakin menggurita dan berlanjut sampai hari ini.

Saudara Pangdam, kami bukan tidak mengerti proses politik Papua Barat dimasukkan secara paksa dengan moncong senjata ke dalam wilayah Indonesia. Kami sangat paham, mengerti, tahu dan sadar proses penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia penuh sandiwara dan konspirasi politik global dan keterlibatan militer secara langsung yang membuat POAP sangat menderita sampai sekarang.

Hak dasar politik kami rakyat dan bangsa Papua dirampok atau dihancurkan dengan moncong senjata oleh ABRI (sekarang: TNI) dalam pelaksanaan Pepera 1969 yang dimulai di Merauke 14 Juli sampai terakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.

Saudara Pangdam, saya sampaikan beberapa fakta kecil tentang kekejaman militer Indonesia yang menciptakan penderitaan panjang Penduduk Orang Asli Papua di atas Tanah leluhur kami sendiri. 

Kekejaman dan kejahatan TNI sebagian kecil yang tulis dalam surat ini sebagai berikut:

(1) Terlihat dalam dokumen militer Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radiogram MEN/PANGAD No: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, Perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman, referendum di IRBA tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.

(2) Adapun surat rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Komando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan Pepera di Merauke. Inti dari isi surat rahasia tersebut adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai Ketua Dewan Musyawarah Daerah dan Muspida akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia.” (Dutch National Newspaper, NRC Handelsbald, March 4, 2000).

(3) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Jenderal Amir Machmud pada 14 Juli 1969 di Merauke dihadapan DMP menyampaikan janji-janji OMONG KOSONG sebagai berikut:

"....pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia,.....(Sumber: UN Report A/7723, Corr.1, Annex 1,,p.195, GA item 98, p.28, p.42, 19 November 1969).

(4) Jenderal Ali Murtopo mengancama, menteror dan intimidasi kepada peserta DMP (Dewan Musyawarah Pepera di Jayapura pada 2 Agustus 1969, sebagai berikut:

"Jika Anda ingin merdeka sebaiknya Anda bertanya kepada Tuhan apakah Dia berbaik hati untuk membangun sebuah pulau di tengah Samudera Pasifik agar Anda bisa bermigrasi ke sana. Anda juga bisa menulis kepada orang Amerika. Mereka telah menyiapkan makanan di Bulan, mungkin mereka bersedia menyediakan tempat bagi Anda di sana. Siapa di antara kalian yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir ulang, karena jika kalian melakukannya, kemarahan rakyat Indonesia akan tertuju pada kalian. Lidahmu yang terkutuk akan dipotong dan mulutmu yang jahat akan dibelah. Lalu, saya Jenderal Ali Murtopo, akan turun tangan dan menembak Anda di tempat". (Sumber: Kesaksian Pdt. Origines Hokojoku dalam buku: Maire Leadbeater, SEE NO EVIL: New Zealand's Betrayal of the people of West Papua: 2018: 154).

(5) Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan dalam bukunya berjudul: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”
mengakui: 

“seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial  dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA dari Tahun 1965-1969, maka saya yakin PEPERA 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Mereka.” 

(6) Ada ancaman, teror dan intimidasi terbuka disampaikan oleh DANREM 172/PWY Kol.Kav. Burhanudin Siagian terlihat dalam media lokal Cenderawasih Pos, 12 Mei 2007 sebagai berikut:

"Pengkhianat Negara harus ditumpas. Jika saya temukan ada oknum-oknum orang yang sudah menikmati fasilitas Negara, tetap masih saja mengkhianati bangsa, maka terus-terang, saya akan tumpas. Tidak usah demonstrasi- demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang tidak berguna. Jangan lagi ungkit-ungkit sejarah Pepera 1969 masa lalu".
(Sumber: Socratez Yoman: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: 2007:346, ed.1).

Saudara Pangdam, seluruh kekejaman Negara melalui militer ini melahirkan pelanggaran HAM berat yang berlangsung dari waktu ke waktu yang mengindikasikan terjadinya proses pemusnahan etnis Penduduk Orang Asli Papua secara sistematis, terstruktur, masif, meluas, berkelanjutan dan kolektif.

Saudara Pangdam, kekejaman dan kejahatan ini digambarkan sebagai LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia oleh 
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan: 

"Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia." (hal.255).

"....kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam." (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: 

"Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia." (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601). 

Penyebab LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008),  yaitu: 

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; 

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

 (4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua. 

Saudara Pandam, melihat ketidakadilan dan kekejaman serta tragedi kemanusiaan yang kronis atau menahun seperti ini, kita harus akhiri, maka saudara Pangdam mendorong pemerintah Indonesia untuk duduk setara di meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia Helsinki pada 15 Agustus 2005. 

Saudara Pangdam, saya sangat mengerti dan tahu, usulan penyeleyesaian seperti ini ditolak keras oleh para Jenderal dalam tubuh militer, namun kalau menolak dan tidak setuju terus-menerus, maka HARUSKAH NKRI harga mati dipertahankan dengan cara-cara yang tidak bermartabat dengan menangkap, menyiksa, menembak dan menewaskan rakyat kecil?  

Saudara Pangdam, hukum Tabur dan Tuai itu tetap berlaku kapan saja dan kepada siapa saja sesuai perilaku mereka. Tolonglah tertipkan anggota-anggota TNI yang berwatak barbar, kriminal, rasialis, dan seperti teroris yang sangat merendahkan martabat kemanusiaan kami POAP itu, supaya hukuman dan murka Tuhan tidak menyimpa mereka, keluarga dan anak-cucunya.

Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.

Ita Wakhu Purom, 23 Maret 2024

Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Penulis: 

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
4. Aliansi Baptis Dunia (BWA).

Kontak: 08124888458//081288887882

RINGKASAN PEREMPUAN BUKAN BUDAK LAKI-LAKI

Para Pembaca setia buku-buku saya yang mulia dan terhormat. Buku berjudul: 

"PEREMPUAN BUKAN BUDAK LAKI-LAKI" 

Saya baktikan dengan misi utama, kita mengantar generasi muda ke depan supaya mereka hidup saling menghormati, dan saling mendukung dalam nilai-nilai  iman, moral, etika sebagai berikut: 

1. Cuci pakaian bersama; 

2. Cuci piring bersama; 

3. Belanja dan Masak bersama; 

4. Buat teh dan kopi bersama; 

5. Jaga anak bersama; 

6. Sapu rumah dan bersihkan halaman bersama; 

7. Pergi ke kebun bersama bagi petani; 

9. Duduk diskusi bersama; 

10. Tidak tendang isteri, isterimu bukan bola,  karena Anda belum sama seperti Boas Sollosa, Ronny Wabia, Timo Kapissa dan kawan; 

11. Tidak tinju isteri karena Anda belum seperti Eliaz Pikal, Manny Pacio, Muhammad Ali, Mike Tyson, Lennix Lewis, Anthony Josua dan petinju lain. 

12. Tidak lempar piring ke wajah isteri; 

13. Tidak buang makanan yang sudah disediakan di meja makan ke tanah; 

14. Tidak minta dilayani di meja makan dalam keadaan mabuk, di tempat tidur dalam keadaan mabuk; 

15. Gaji tidak digunakan membeli minuman keras; 

16. Mengurus anak ke sekolah bersama-sama; dan 

17  Tidak korek-korek masa lalu isteri dan suami; 

18. Kasih kesempatan kepada isteri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih layak; 

19. Kembangkan potensi dan talenta isteri untuk kemajuan,  perubahan dan kekuatan keluarga; 

20  Jangan mengatakan kepada isteri bodoh atau kata-kata negatif yang meruntuhkan semangat hidup isteri dan sebaliknya; 

21. Sampaikan pujian kepada isteri atas kelebihan dan kemampuan isteri dari mata hati dan mata iman; 

22. Jangan menghina isteri dan membatasi kreativitas dan inovasinya dan HARUS didukung dengan sepenuh hati. 

23. Belajar mendengarkan isteri bercerita tentang situasi hati dan pikirannya. Jangan cepat-cepat balas. Biarkan isteri mengakhiri komunikasinya. Respek isteri Anda. Apresiasi isteri Anda. Jangan kontraskan pembicaraannya, tapi kasih penjelasan dan membuat isteri Anda merasa nyaman, sejuk, damai dan terhormat di depan mata dan wajahmu sendiri. 

24. Bantu dan selesaikan tugas-tugas di rumah dengan isteri dan minta pamit ke kantor dan kalau suami dan isteri sama-sama kerja di kantor, tuntaskan tugas-tugas di rumah. Anda orang PEMENANG dan SUKSES karena Anda selesaikan tugas-tugas di RUMAH. Rumah Anda adalah Kerajaan Allah. 

25. Jaga dan pelihara  isteri seperti orang tua menjaga dan memelihara dengan kasih sayang. Jangan melukai dia karena orang tua belum pernah melukai dia. 

26. Dari 1. sampai 25   dan masih banyak lain, ini semua syarat-syarat untuk memelihara dan melaksanakan Firman Tuhan 
Matius 19:6; 
dan merawat Surat Nikah Gereja.  

27. Akhir kata, Anda tidak akan menjadi orang kecil pada saat suci piring dan membuat teh atau ambilkan air untuk isterimu." 

Ini hanya sebagaian keterangan dari arti judul buku: PEREMPUAN BUKAN BUDAK LAKI-LAKI. 

Tuhan memberkati. 

Ita Wakhu Purom, 19 Juli 2022. 

Gembala DR. A.G. Socratez Yoman MA.

DILARANG JUAL TANAH ATAU JANGAN MENJUAL TANAH (Kejadian 2:15)



Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA.

"FILOSOFI HIDUP ORANG LANI TANAH ADALAH KEHIDUPAN KAMI. Tanah sebagai kekayaan dan warisan sangat berharga dalam hidup orang Lani. Tanah sebagai sumber hidup orang Lani. Tanah sebagai Mama orang Lani. Tanah sebagai roh orang Lani. Tanah sebagai investasi dan modal hidup anak dan cucu Orang Lani. Karena itu, tidak ada alasan untuk jual tanah atau serahkan tanah kepada siapapun, alasan apapun dan kepentingan apapun." (Ndumma Socratez S.Yoman, Ita Wakhu Purom, 13 Mei 2019).
Menjual tanah berarti kita menyerahkan dan mengantungkan hidup kita di tangan orang-orang pendatang. Menjual tanah betarti kita menanam kemiskinan dan kemelaratan seumur hidup. Menjual tanah berarti kita menghancurkan masa depan anak dan cucu kami. Menjual tanah berarti kita membunuh masa depan anak dan cucu kami.
Setelah ada pernyataan iman dari Uskup Keuskupan Timika alm. Mgr. John Philipus Saklil, Pr, kita semua disadarkan dari ketidaksadaran dan dari kenyamanan dan kemapanan semu dan zona nyaman yang hampa.
Alm. Uskup John pernah menyatakan: “Rakyat Papua bisa hidup tanpa uang, tapi mereka tidak bisa hidup tanpa tanah.”
Pada 1 September 2018, kita disadarkan kembali oleh alm. Uskup Saklil, bahwa ia menolak dengan tegas program transmigrasi di Papua, termasuk di Kabupaten Mimika dengan alasan apapun, termasuk kepentingan pemekaran.
“Untuk apa program itu ada kalau hanya menggusur masyarakat lokal? Karena itu, pada prinsipnya Gereja tidak setuju dengan program transmigrasi bukan hanya di Mimika, tapi juga di seluruh Tanah Papua.”
Uskup lebih jauh menegaskan: “Aneh sekali kalau program transmigrasi dianggap sebagai solusi. Justru itu yang menyebabkan kerusakan sumber kehidupan masyrakat lokal. Dusun-dusun masyarakat lokal habis.”
Ia memperkuat dan mendukung pernyataan gubernur Papua. ” Gubernur juga tidak setuju, karena masuknya transmigrasi itu, maka warga lokal akan semakin tersisih dan menjadi kaum minoritas di tanahnya sendiri. Transmigrasi ini juga akan menimbulkan konflik karena timbul kecemburuan sosial. Transmigrasi tidak bisa menjawab persoalan itu.”
Alm.Uskup Saklil sebagai wajah TUHAN yang nyata telah menghadirkan Kerajaan Allah di bumi nyata. Mantan Uskup Timika ini hadirkan Injil di bumi Papua. “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Matius 6:10).
Alm. Uskup Saklil menjadi suara dan wajah Tuhan yang nyata di bumi Papua. “Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka” (Amsal 31:8-9).
Mengapa Uskup berdiri untuk umat Tuhan di West Papua sebagai kepanjangan tangan Tuhan Yesus? Karena, “…air mata orang-orang tertindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena dipihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan” (Pengkhitbah 4:1).
“Kalau engkau melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, janganlah heran akan perkara itu, karena pejabat yang satu mengawasi yang lain, begitu pula pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka” (Pengkhotbah 5:7).
Kongres Gereja Baptis Papua melarang menjual Tanah Salah satu keputusan Kongres ke-18 Gereja Baptis Papua pada 11-14 Desember 2017 di Wamena ialah dilarang menjual tanah di wilayah pelayanan Baptis, terutama di kabupaten Lanny Jaya. Karena sebelum ada kabupaten Lanny Jaya, wilayah ini sejak 28 Oktober 1956 adalah milik Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Siapapun dan dengan alasan apapun, Tanah di wilayah Baptis di Kabupaten Lanny Jaya tidak ada yang dijual. Semua aset, terutama tanah yang digunakan pemerintah/aparat keamanan akan direnegosiasi (dibicarakan) ulang. Tanah tidak akan dijual tapi disewa dan dikontrak.
Sikap Uskup Timika dan Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua dalam upaya menegakkan apa yang disampaikan oleh TUHAN Allah kepada Manusia pertama, Adam, “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkan dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kejadian 2:15).
Dalam perintah TUHAN sangat jelas, yaitu taman Eden Papua ini bukan untuk dijual, bukan untuk Transmigrasi, bukan untuk bangun basis TNI/Polri dan bangunan lain-lain. Taman Eden di Papua diberikan TUHAN kepada Orang Asli West Papua untuk USAHAKAN dan MEMELIHARA.
TUHAN memberikan kuasa, mandat dan tanggungjawab kepada kita supaya memelihara & mengusahakan: bangun rumah, buat kebun, buat kandang ternak babi, dll.
Kutuk, malapetaka, murka dari TUHAN Allah turun-temurun kepada orang-orang yang melanggar Firman TUHAN & dan jual Tanah.
Karena bagi orang yang menjual Tanah adalah orang yang tidak berhikmat dan tidak berakal budi. Orang yang menjual Tanah adalah orang tidak berilmu dan bodoh. Orang yang menjual Tanah adalah yang menciptakan kemiskinan pemanen untuk anak dan cucunya.
Orang menjual Tanah adalah orang yang menjadikan anak dan cucunya menjadi budak-budak dan pengemis abadi di atas tanah leluhur mereka. Orang yang menjual Tanah adalah orang yang tidak menghormati TUHAN dan leluhur/nenek moyangnya.
Orang yang menjual tanah mengantungkan hidup dan harapan semu/sia-sia kepada orang-orang pendatang. Orang yang menjual tanah adalah orang-orang yang menjual tulang belulang leluhur dan nenek moyangnya. Terkutuklah mereka yang menjual tanah.
Tanah adalah mama/ibu kita. Tanah adalah hidup kita. Tanah adalah kekayaan sangat berharga bagi anak dan cucu kita. Tanah adalah investasi dan tabungan dan kekayaan masa depan anak dan cucu kita.
Dengan dasar ini, saya berkampanye: TANAH JANGAN DIJUAL ATAU DILARANG JUAL TANAH.”
TUHAN Allah menugaskan kepada Adam dan Hawa dan kita semua sekarang supaya Taman Eden Papua ini diusahakan dan dipelihara bukan untuk dijual dan diserahkan kepada orang-orang pendatang.
"TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkan dalam taman Eden (Tanah Papua) untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (taman Papua)" (Kejadian 2:15).

Penulis: Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).

Ita Wakhu Purom, Kamis, 27 Februari 2020

Press Release: Pastor Dr. Socratez S. Yoman, MA, President of the Fellowship of Baptist Churches in West Papua.


The reality or fact is that now we live under an Indonesian ruler who is anti-democratic, anti-justice, anti-freedom, anti-peace, anti-equality and anti-humanity. This is the real reflection of the face of the colonial rulers of Indonesia. The Indonesian rulers have lost their conscience, common sense, and have no creativity or innovation because it is now proven that the approach of using violence through state apparatus is their way to solve the problems of injustice and crimes against humanity in Papua. The state itself has created a stalemate and is now creating new problems that are increasingly complicated and spiralling out of control.

The incident which took place on August 16, 2021, when Rev. Dr. Benny Giay, Chair of the Kingmi Synod in Papua and also Moderator of the West Papua Council of Churches (WPCC) was refused entry to the Papuan Peoples Representative building is a very embarrassing incident for the Indonesian police institution. Is this the face of the Indonesian police, the blockaders of a church leader who wanted to pray at the office of the Papuan people's representatives and also the blockaders of a peaceful demonstration of the Papuan people?

The rejection of the KNPB demonstration to demand the release of Viktor Yeimo in Jayapura and in Yahukimo on August 16, 2021, which killed one person, shows that the police are not only unprofessional and uneducated, but that they are also violent and criminal. This kind of cruelty and violence by the security forces has led to an increase in the Papuan people's distrust of Indonesia.

I strongly condemn the security forces in Yahukimo who killed one person in Yahukimo and injured the Chairman of KNPB, Agus Kosay and several KNPB members in Jayapura.

Ita Wakhu Purom, August 16, 2021

INDONESIA BANGSA KOLONIAL FIRAUN MODERN SECARA ILEGAL MENDUDUKI DAN MENJAJAH BANGSA PAPUA SEJAK 1 MEI 1963 SAMPAI SEKARANG

Realitas Politik  

"Dewan Gereja Papua (WPCC) Bukan wadah Ilegal" 

Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman,MA 

Ada pertemuan tertutup pada Selasa, 9 Mei 2022 dari pemerintah, TNI-Polri dan beberapa orang Papua yang di-tokoh-kan oleh penguasa untuk menyikapi rencana demo Petisi Rakyat Papua (PRP) pada Rabu, 10 Mei 2022. 

Dalam pertemuan tertutup itu digambarkan perkembangan sosial dan politik di Papua dengan topik: "NARASI PAPARAN KOMINDA 9 MEI 2022" dengan 13 SLIDE. 

Dari sebanyak 13 SLIDE itu pada SLIDE 4 disebutkan sebagai berikut: 

"Dalam perkembangannya, terdapat beberapa respon yang timbul dilingkungan masyarakat yang menolak serta mendukung dilakukannya Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). Namun dalam perkembangannya, kelompok penolakan pemekaran DOB Papua dibelakangi oleh Tokoh Agama hingga pejabat dilingkungan Prov. Papua, yang diantaranya adalah : 

1.Timotius Murib, Yoel Luiz Mulait, Benny Swenny yang berasal dari Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), John Gobay, Laurenzus Kadepa, Alfred Freddy Anouw, Yonas A. Nusi yang berasal dari Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), serta beberapa pejabat yang berasal dari Pemerintah Prov. Papua dimana turut ikut mendukung segala pendapat yang menyudutkan Pemerintah Pusat. 

2.Pdt. Socrates S. Yoman, Pdt. Benny Giay, Pdt. Andrikus Mofu, Pdt. Dorman Wandikbo yang tergabung dalam Dewan Gereja Papua/ West Papua Church Council (WPCC) yang illegal serta menggerakan Forum Pemuda Kristen di Tanah Papua (FKTP). 

Oknum merupakan pihak yang bertanggungjawab dalam pengerahan massa aksi di 5 Wilayah adat dan serta mendanai aksi yang dilaksanakan oleh kelompok Pro M, yang memiliki tujuan/goals untuk: 

1.Menurunkan kepercayaan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat OAP menurun terhadap Pemerintah Indonesia.
2.Menimbulkan eskalasi sitkamtibmas di Prov. Papua dan Papua Barat.
3.Menginisiasi pembatalan pelaksanaan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB)
4.Menginisiasi terlaksananya aksi Mogok Sipil Nasional (MSN) di tanah Papua
5.Menuntut dilakukannya Referendum Papua." 

Dari pandangan bangsa kolonial firaun modern ilegal yang menduduki dan menjajah ini,perlu diluruskan, supaya rakyat Papua dan rakyat Indonesia tidak disesatkan dengan informasi-informasi sesat dengan muatan kepentingan-kepentingan bangsa perampok, pencuri, pembunuh, pembinasa, penjarah, dan pembohong yang berwatak RASIS, FASIS dan berwatak kriminal berbudaya militeristik. 

1. Dewan Gereja Papua (WPCC) disebut sebagai wadah "ilegal" oleh penguasa kolonial firaun modern Indonesia ilegal. Dan menyebutkan nama-nama pendiri, pengurus Dewan Gereja Papua (WPCC). 

Penguasa kolonial firaun modern ilegal Indonesia perlu belajar banyak sejarah, HARUS tahu dan SADAR bahwa, kami ada di sini sejak dunia dijadikan. Kami ada di sini sebelum misionaris asing datang. Kami ada di sini sebelum bangsa Belanda datang. Kami ada di sini sebelum bangsa kolonial ilegal Indonesia ada di sini secara ilegal pada 19 Desember 1961; Perjanjian New York 15 Agustus 1962; 1 Mei 1963; Pepera 1969. 

Dewan Gereja Papua (WPCC) bukan ilegal. Pendirian Dewan Gereja Papua dengan 6 dasar yang sah dan legal, yaitu: 

1. Dewan Gereja Papua didirikan oleh TUHAN Yesus Kristus sendiri di atas batu karang yang teguh. 

"....Aku berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan telepas di sorga" (Matius 16:18-19). 

2. Dewan Gereja Papua (WPCC) berdiri atas sejarah Injil pada 5 Februari 1855. Dewan Gereja Papua (WPCC) sudah ada 167 tahun di atas Tanah ini. 

Sementara Indonesia menduduki di Tanah Papua dan menjajah rakyat Papua secara ilegal 61 tahun sejak 19 Desember 1961; dan 59 tahun sejak 1 Mei 1963; dan 53 tahun sejak 1969. 

3. Dewan Gereja Papua (WPCC) anggota resmi Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan juga anggota resmi Dewan Gereja Dunia (WCC) bukan ilegal. 

4. Dewan Gereja Papua (WPCC) didirikan oleh Gereja-gereja resmi dan moyoritas anggotanya orang-orang asli Papua sebagai pemilik dan Tuan atas Tanah Papua. 

5. Dewan Gereja Papua (WPCC) wadah yang berdimensi rohani yang universal tidak berada dalam perangkat aturan dan undang-undang suatu negara, karena Dewan Gereja Paoua berdiri di atas otoritas Alkitab sebagai Rumah Bersama, Perahu Bersama dan Honai Bersama bagi rakyat Papua. 

6. Suara Dewan Gereja Papua (WPCC) didengar oleh MSG, PIF, ACP dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Alasan tidak mendasar, bahwa demo pada 10 Mei 2022 diinisiasi atau didorong oleh Dewan Gereja Papua. Penguasa kolonial firaun modern ilegal Indonesia dengan cerdik dan licik meng-kambing-hitam-kan Dewan Gereja Papua (WPCC). 

Penguasa kolonial firaun modern ilegal Indonesia berusaha melarikan diri atau menghindari dari 4 akar persoalan atau akar sejarah konflik yang dirumuskan oleh LIPI (kini: BRIN).  

Pemaksaksaan Daerah Otomomi Baru (DOM) oleh militer di Tanah Papua adalah upaya untuk memperkuat pendudukkan dan penjajahan Indonesia secara ilegal di Tanah Papua. 

SLIDE 4 pada ponit 1 disebutkan: 

"Menurunkan kepercayaan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat OAP menurun terhadap Pemerintah Indonesia." 

Pernyataan ini sangat lucu dan aneh oleh para penguasa kolonial fiarun modern ilegal Indonesia, karena yang menurunkan kepercayaan rakyat Indonesia dan rakyat Papua ialah perilaku penguasa sendiri, yaitu: 

1. Penguasa Indonesia pembohong dan tukang janji-janji kosong; 

2. Penguasa Indonesia itu kumpulan para penipu, pembohong, pencuri, perampok, penjarah, pembunuh, pemusnah orang asli Papua; 

3. Para penguasa Indonesia berwatak rasis, fasis dan pembuat hoax, mitos, stigma, label sebagai tameng untuk menduduki, menjajah, menindas dan membunuh, memarginalkan orang asli Papua secara sistematis, terprogram, terstruktur, masif dan kolektif sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang ini. 

Dari perilaku bangsa kolonial firaun modern Indonesia ilegal telah lahir 8 SIKAP PERLAWANAN ORANG ASLI PAPUA 

Penguasa kolonial modern Indonesia yang menduduki, menjajah dan menindas rakyat dan bangsa Papua Barat telah melahirkan tujuh sikap perlawanan yang khas dan kuat. Tujuh sikap yang khas dan kuat itu lahir, bertumbuh dan berakar serta berbuah dalam hidup rakyat dan bangsa Papua Barat karena penguasa kolonial modern Indonesia menerapkan penjajahan kejam dan brutal berkultur militer dimulai sejak 19 Desember 1961 dan lebih totaliter dan otoriter dimulai 1 Mei 1963. 

Delapan sikap perlawanan itu lahir karena penguasa kolonial modern Indonesia menerapkan penjajahan standar berganda yang telah menjadi akar konflik berdarah dari waktu ke waktu yang terus meningkat, yaitu: Rasisme, Fasisme, Kolonialisme, Kapitalisme, Militerisme, Imperialisme, Ketidakadilan, sejarah penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia melalui Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI (kini: TNI) yang megakibatkan pelanggaran berat HAM dan proses pemusnahan etnis orang asli Papua dengan sistematis, terstruktur, masif dan kolektif. Terjadi marginalisasi/peminggiran orang asli Papua karena Tanah dirampas bahkan manusianya dibunuh dan diusir dengan operasi militer besar-besaran. 

Sikap dan perilaku Negara yang rasis dan fasis ini telah melahirkan SEPARATISME dengan tujuh sikap yang khas bagi rakyat dan bangsa Papua Barat menghadapi penguasa kolonial modern Indonesia, yaitu: 

1. AWARENESS (ADA KESADARAN). 

Seluruh rakyat dan bangsa Papua Barat menyadari dan ada kebangkitan bahwa Indonesia adalah penguasa kolonial modern yang menduduki dan menjajah bangsa Papua Barat dengan moncong senjata sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang memasuki tahun 2021. 

2. AWAKENING (ADA KEBANGKITAN) 

Sejak 19 Desember 1961 melalui Tiga Komando Rakyat (Trikora) dan 1 Mei 1963 penyerahan sepihak dari UNTEA kepada Indonesia, orang asli Papua benar-benar mengalami mimpi buruk dalam melihat perilaku biadab, barbar, kejam dan rasis serta fasis bangsa Indonesia. Tanggal 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 tanggal dimulainya awal dimulainya proses pemusnahan etnis orang asli Papua dengan operasi militer besar-besaran. 

Sudah 61 tahun sejak 19 Desember 1961 dan 59 tahun sejak 1 Mei 1963, orang asli Papua hidup dalam penderitaan panjang yang ditimbulkan penguasa bangsa kolonial modern Indonesia yang berwatak rasis dan fasis berkultur militeristik. 

Ada penderitaan, tetesan darah, cucuran air mata, dan tulang belulang berserakkan yang mewarnai kehidupan orang asli Papua dari waktu ke waktu sampai memasuki tahun 2022 ini. Wajah kekejaman dan kekerasan Indonesia semakin nyata operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybarat, Kiwirok-Pegunungan Bintang. 

Kekerasan Negara secara sistimatis, terprogram, terstruktur, masif dan kolektif ini membangkitkan orang asli Papua dari kelumpuhan dan penghilangan martabat kemanusiaan, identitas sebagai sebuah bangsa, sejarah, kebudayaan dan bahasa. Ada perampokkan Tanah dan sumber daya alam dan banyak harta berharga yang dicuri dan dibawa pergi oleh para perampok, pencuri, penipu, pembunuh. Dalam keadaan ketidakberdayaan ini, rakyat dan bangsa Papua Barat bangkit untuk melawan kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan yang terlama dan terpanjang di Asia pasifik ini. 

3. UNITY (ADA PERSATUAN). 

Kesadaran dan kebangkitan adanya pendudukan dan kolonialisme Indonesia atas bangsa Papua, sehingga orang asli Papua melahirkan sikap persatuan dengan membentuk wadah perjuangan bersama, yaitu United Liberation Movement for West Papua ( ULMWP). ULMWP menjadi wadah politik resmi yang menjadi Obsever di MSG dan bersuara di forum-forum PIF, ACP dan forum internasional lainnya. Ada KNPB sebagai wadah gerakan moral dan politik, TPN-PB sebagai sayap militer. 

4. DISTRUST (ADA KETIDAKPERCAYAAN). 

Rakyat dan bangsa Papua telah kehilangan kepercayaan terhadap penguasa Indonesia. Kepercayaan terhadap Indonesia menjadi gundul atau botak. Sudah didak ada cara lain untuk kembalikan kepercayaan rakyat kepada penguasa pemerintah Indonesia. Label teroris terhadap orang asli Papua bertambah luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia dari kaca mata orang asli Papua. Otsus jilid 2 Nomor 2 Tahun 2021 bertambah runtuhnya kepercayaan rakyat dan bangsa Papua terhadap penguasa Indonesia. 

5.DISOBEDIENCE (ADA KETIDAKPATUHAN). 

Dari kedasaran, kebangkitan dan persatuan dan ketidakpercayaan itu melahirkan ketidakpatuhan kepada penguasa Indonesia dan berbagai undang-undang dan ideologi bangsa. Contohnya, pada 17 Agustus 2021, mayoritas orang asli Papua tidak kibarkan bendera merah putih di halaman rumah seperti tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. Rakyat dan bangsa Papua menyadari bahwa bendera merah putih ialah lambang penjajahan. Alam juga turut tidak setuju dan itu terbukti di Manokwari dan di Jembatan Merah Jayapura.  

6.REJECTION (ADA PENOLAKAN). 

Sikap penolakan rakyat Papua terhadap Indonesia sudah dimulai sejak pelaksanaan Pepera 1969. Hampir mayoritas 95% Orang Asli Papua menolak digabungkan dengan wilayah Indonesia dengan proses Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI. 

"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua." 
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA). 

Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia." (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126). 

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47). 

Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando: 

"Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka." (2009:hal.169). 

7. RESISTANCE (ADA PERLAWANAN). 

Sikap perlawanan rakyat dan bangsa Papua terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia itu sejak tahun 1960-an. Perlawanan atau penolakan itu terbukti tidak pernah terhenti dan sampai memasuki tahun 2022 ini masih dan tetap dilakukan perlawanan terhadap Indonesia. 

Yang menjadi tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia saat ini, bahwa lahirnya atau terbentuknya ketidakpercayaan (distrust), kebangkitan (awaking), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance) terhadap Indonesia itu dilakukan oleh hampir 100% generasi muda Papua yang belajar dari dan dalam sistem pendidikan dari Tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Indonesia. 

Penulis juga generasi yang nengeyam pendidikan Sekolah Dasar Negeri atau SD Inpres, SMP Negeri, SMA Negeri dan Universitas Negeri Cenderawasih, tapi saya menjadi orang Indonesia, karena penulis belajar proses sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, penuh darah dan air mata. 

Yang dilawan oleh rakyat dan bangsa Papua ialah akar sejarah konflik, yaitu: diskriminasi rasial, fasisme, kolonialisme, militerisme, kapitalisme, pelanggaran berat HAM, ketidakadilan, dan sejarah Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral. 

Rakyat dan bangsa Papua juga menolak dan melawan hoax, mitos-mitos, stigma, label diproduksi penguasa Indonesia, yaitu: separatis, makar, opm, kkb, dan teroris sebagai topeng atau tameng untuk menyembunyikan sejarah akar konflik Papua. 

8. ADA KEMANDIRIAN/KEMERDEKAAN (INDEPENDENCE) 

Sekarang Indonesia menghadapi tantangan berat, yaitu: kesadaran (awareness), awakening (kebangkitan) persatuan (united) ketidakpercayaan (distrust), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance) serta kemandirian/kemerdekaan (independence) dari kalangan generasi muda orang asli Papua dan terdidik yang memperoleh pendidikan yang diselenggarakan bangsa kolonial modern Indonesia dari TK-Perguruan Tinggi. 

Generasi muda Papua yang terdidik menyatakan: KAMI BUKAN BANGSA INDONESIA. KAMI BANGSA PAPUA RAS DAN RUMPUN MELANESIA." 

Selamat membaca. Doa dan harapan saya, artikel ini menjadi berkat bagi para pembaca. 

Ita Wakhu Purom, Rabu, 10 Mei 2022 

Penulis: 
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________

APAKAH DALAM IBADAH PASKAH KEBANGKITAN YESUS KRISTUS PADA 17 APRIL ADA YANG BERDOA DI MIMBAR UNTUK PAPUA MERDEKA, ULMWP, TPN-PB, KNPB?

Refleksi Paskah 17 April 2022 

Oleh Gembala DR. A G. Socratez Yoman,MA

Sekitar 8 tahun lalu, ada anggota jemaat salah satu gereja di Tanah Papua protes pada saat seorang pendeta sedang berdoa Syafaat atau doa Penggembalaan. 

Anggota jemaat ini mengikuti doa pendeta dari awal bahwa pendeta ini dari mimbar gereja berdoa meminta kepada Tuhan untuk memberkati pemerintah dari pusat sampai pemerintahan terkecil di desa-desa dan aparat keamanan. 

Tapi, anggota jemaat ini tidak mendengarkan dalam doa pendeta ini meminta kepada TUHAN Yesus untuk memberkati Papua Merdeja, ULMWP, TPN-PB, KNPB.  

Pendeta ini hampir selesai doa dan mendekati kata "AMIN", anggota jemaat ini berdiri dan protes pendeta ini dengan nada menyesal. 

"TUHAN, saya minta jangan dengarkan dan kabulkan doa ini. Karena pendeta ini salah berdoa. Karena, pendeta ini tidak adil. Pendeta mendoakan penguasa Indonesia dan aparat keamanan yang selama ini membunuh umat Tuhan, orang asli Papua di Tanah ini" 

"TUHAN, saya tidak setuju dengan doa pendeta ini, karena pendeta ini tidak mendoakan Papua Merdeja, ULMWP, TPN-PB, KNPB." 

"TUHAN, saya rindu dan harapkan supaya pendeta ini bertobat supaya dia berdoa juga untuk para pejuang Papua Merdeka. Karena mereka juga umat Tuhan yang perlu didoakan dan digembalakan." 

"TUHAN, pendeta ini juru bicara pemerintah dan TNI-Polri di mimbar suci dan kudus. TUHAN, pendeta ini ikut memelihara kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua." 

:TUHAN, pendeta ini berfikir dan berbicara seperti aparat keamanan TNI-Polri yang biasanya memusuhi para pejuang Papua Merdeka, ULMWP, TPN-PB, KNPB." 

Menurut saya, protes anggota jemaat BENAR. Saya setuju dengan dia. Kita harus adil karena semua umat TUHAN. Kita HARUS akhiri KEPALSUAN kesadaran dalam gereja-gereja Tuhan di Papua. 

Saya berharap, ada pendeta dan gembala dan Pastor yang berdoa untuk Papua Merdeka, ULMWP, TPN-PB, KNPB pada saat ibadah Hari Paskah pada Minggu, 17 April 2022. 

Para pendeta, gembala dan pastor harus membebaskan diri dari demam penjara ketakutan. 

Akhirnya, saya sampaikan: 

SELAMAT PASKAH DALAM DEMAM PENJARA KETAKUTAN DI MIMBAR-MIMBAR KRISTEN DI TANAH PAPUA. MIMBAR YANG MEMBELENGGU ORANG ASLI PAPUA DI ATAS TANAH LELUHUR MEREKA. MIMBAR YANG MEMPERKOKOH KEKERASAN DAN KEJAHATAN NEGARA. MIMBAR YANG MENDUKUNG PENJAJAHAN INDONESIA DI TANAH PAPUA. GEREJA YANG BELUM MENGERTI TUGAS UTAMANYA, YAITU MENGGEMBALAKAN UMAT TERTINDAS DAN TERPINGGIRKAN. 

Semoga MATA ROHANI TERBUKA melalui tulisan ini. 

Waa....Waa....Kinaonak. 

Ita Wakhu Purom, 17 April 2022 

======== 

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

WPCC Tentang KOMNAS HAM NKRI DAN DIALOGUE

POSISI DEWAN GEREJA PAPUA (WPCC) TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK VERTIKAL INDONESIA-PAPUA SEBAGAI BERIKUT: 

1. KOMNAS HAM RI harus Mendukung penyelesaian 4 akar persoalan Papua yang sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 

2. KOMNAS HAM RI harus mendukung pernyataan Presiden RI, Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 untuk bertemu dengan kelompok pro-Referendum. 

3. KOMNAS HAM RI harus mendukung kunjungan Komisi HAM PBB ke Papua sesuai dengan desakan 84 Negara, Uni Eropa dan Pakar HAM PBB. 

4. Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Seruan Moral, 20 Maret 2022 dapat menilai langkah-langkah KOMNAS HAM imi ditempuh dalam rangka politik PENCITRAAN Negara Indonesia." Maka Dewan Gereja Papua mendesak KOMNAS HAM RI harus mendukung sikap resmi Dewan Gereja Papua (WPCC), dalam Seruan Moral 20 Maret 2022, sebagai berikut: 

"Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, kami tetap KONSISTEN mendesak dilakukannya Dialog antara Pemerintah Indonesia dengan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), seperti yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam penyelesaian konflik Aceh. 

5. Surat Gembala Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Februari 2021, sebagai berikut: 

"Presiden Jokowi, pada tanggal 30 September 2019, sudah berjanji di depan media masa di Jakarta bahwa pihaknya ingin bertemu dengan 'kelompok pro referendum Papua'. Sehingga kami percaya bahwa Indonesia/Jakarta pada akhirnya akan berunding dengan ULMWP. Melalui surat ini kami menagih janji tersebut." 

6. Pada 26 Agustus 2019, Dewan Gereja Papua (WPCC) juga meminta untuk KEADILAN dari Pemerintah Republik Indonesia atas masalah Papua seperti yang ditunjukkan kepada GAM di Aceh. Wakil Presidem Yusuf Kalla secara aktif mendorong dialog dengan GAM yang dimediasi pihak internasional, sementara ULMWP diberikan stigma KKB yang diperhadapkan dengan pendekatan militer. Oleh karena itu, kami menuntut Pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral." 

7. Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Surat Gembala pada tanggal 13 September 2019, sebagai berikut: 

"Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian yang permanen di Tanah Papua, sesuai dengan Seruan Surat Gembala yang pada tanggal 26 Agustus yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. 

KOMNAS HAM RI harus mendukung Perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral seperti GAM Aceh-RI di Helsinki pada 15 Agustus 2005. 

Posisi Dewan Gereja Papua (WPCC) jelas, maka atas dasar arahan dan petunjuk Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt. DR. Benny Giay, maka Dewan Gereja Papua tidak akan ada pertemuan dengan KOMNAS GAM RI. 

Terima kasih 

Jayapura, 1 April 2022 

Gembala DR. Socratez Yoman 

========= 

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

The West Papuan Council of Churches have released a statement today


The West Papuan Council of Churches have released a statement today demanding that the Indonesian government listen to the voices of the West Papuan people and stop plans for expansion of provinces in Papua which they believe will only lead to further marginalisation of Indigenous Papuans and more conflict. They also condemned the recent response of the Indonesian government to the letter from UN Special Rapporteurs who expressed their concern on the urgent humanitarian situation in West Papua. Their statement expressed condolences for victims of violence of the Security forces and from the TPNPB and recommended that the UN High Commissioner for Human Rights should visit West Papua as soon as possible.
On the issue of dialogue currently proposed by the National Human Rights Commission between the government and the TPN-PB the WPCC recommended that before any steps are taken towards Dialogue the Government needs to ensure that: 1. All military are withdrawn from Papua; 2. Over 60,000 people who have been displaced due to conflict can return to their homes; 3. A stop to all legal process against Haris Azhar and Fatia Maulidiyanti and the criminalization of other human rights activists in Indonesia who are fighting for human rights in Papua; 4. Any dialogue should have the support of Papuan civil society.
Finally the WPCC propose that the government of Indonesia should start steps towards holding dialogue with the ULMWP.

Perbedaan Operasi Teritorial, Operasi Militer dan Operasi Tempur

Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman


Militer dan Rasisme adalah akar persoalan Papua, bukan masalah KESEJAHTERAAN. Karena itu, hanya bagi orang sehat rohani dan jasmani selalu dengan yakin mengatakan, bahwa Papua itu persoalan MILITER dan RASISME.
Sebaliknya, orang yang berada dalam keadaan tidak normal, tidak sehat rohani dan jasmani, mata buta, telinga tuli, hati nurani mati yang selalu mengatakan KESEJAHTERAAN sebagai akar persoalan Papua.
Kata KESEJAHTERAAN adalah lagu lama dari Amir Machmud sejak 2 Juli 1969 di Merauke yang terus diputar berulang-ulang dari waktu ke waktu oleh penguasa kolonial modern Indonesia untuk menutupi kekerasan negara berbasis rasisme, dan ketidakadilan di Papua yang sudah berlangsung selama 58 tahun.
Ada dua pertayaan kunci yang perlu penulis ajukan dalam artikel ini.
1. Apa perbedaan Operasi Teritorial (OT), Operasi Militer (OM) dan Operasi Tempur (OT)?
Penulis belum paham banyak tentang istilah dan siasat militer, maka tidak dijelaskan secara menditail perbedaan OT, OM, OT karena bukan domain penulis. Tapi, menurut pemahaman penulis, bahwa apapun istilahnya, OT, OM dan OT itu semua adalah operasi militer untuk mempertahankan, merampok, mencuri, dan menjarah Tanah dan Sumber Daya Alam (SDA) di Papua minus manusianya. Orang Asli Papua (OAP) bukan urusan bangsa Melayu, karena OAP dianggap penghalang atau pengganggu usaha penjajahan pendudukan Indonesia di seluruh Tanah Papua dari Sorong-Merauke.
Orang Asli Papua dimiskinkan, dipinggirkan, dibuat tidak berdaya, dibuat ketaatan "semu" dan dilabel separatis, makar, opm, kkb, dan teroris dan dibantai seperti hewan dan binatang sebagai bagian dari proses genosida (genocide).
Istilah Operasi Teritorial itu bukan istilah baru. Operasi Teritorial itu sudah berlangsung di Papua sejak 1 Mei 1963. Sesungguhnya Operasi Militer dan Operasi Tempur itu dikemas dalam istilah Operasi Teritorial, karena yang merancang dan melaksanakan militer untuk merampok dan mencuri Tanah dan Sumber Daya Alamnya dan melindungi para kaum pendatang untuk menguasai Tanah Papua.
Berikut ini penulis sampaikan istilah Operasi Militer di Papua yang dipakai oleh militer Indonesia, sebagai berikut:
1. Operasi WISNUMURTI yang dikeluarkan oleh Men/Pangad Jenderal A.Yani pada 1963 untuk menghadapi, menindas, membantai dan memusnahkan OAP.
2. Operasi SADAR yang dikeluarkan oleh Komando Pangdam Trikora Brigjend R.Kartidjo untuk menghadapi dan menindas dan membantai OAP.
3. Operasi BARATAYUDHA (1966-1967) yang dipimpin Pangdam Trikora Brigjen R. Bintoro untuk menghadapi dan menindas dan membantai OAP.
4. Operasi PAMUNGKAS dipimpin oleh Kodim Biak yang dipimpin oleh Dandim Biak Mayor R.A.Hendrik dan Mayor Puspito Komandan Yon. 753 untuk menindas dan membantai orang asli Papua pada tahun 1971.
5. Operasi SENYUM yang dikeluarkan oleh Panglima ABRI M. Yusuf untuk menghancurkan dan membantai OAP.
6. Operasi GAGAK I (1985-1986) yang dipimpin oleh Pangdam Mayjen H. Simanjuntak untuk menindas dan membantai OAP.
7. Operasi GAGAK II (1986-1987) dipimpin oleh Pangdam Mayjen Setiana untuk menghancurkan dan membantai orang asli Papua.
8. Operasi KASUARI I (1989-1990) oleh Pangdam Mayjen Abinowo untuk menghancurkan dan membantai OAP.
9. Operasi KASUARI II (1990-1991) yang dilaksanakan oleh penggantinya Pangdam Mayjen Arismunandar untuk menghancurkan dan membantai OAP.
Operasi Teritorial itu untuk pembentukan desa binaan, kampung binaan, membina tokoh laki-laki dan perempuan serta pemuda, pembangunan infrastruktur militer dan REMILITERISASI di Papua.
Operasi Teritorial itu bukan hal baru, terbukti dengan keluarga yang dikirim sebagai Transmigrasi.
"Transmigrasi yang didalamnya juga masuk keluarga ABRI dan para pensiunan ABRI....Para purnawirawan ABRI yang ikut dalam pemukiman transmigrasi sekaligus menjadi Intel Kodam dalam mengawasi daerah itu." (Sumber: Heboh Papua: Amiruddin al Rahab: 2010:55).
Tidak heran, penguasa bangsa kolonial ini selalu bersilat lidah dan terus berbohong dan bersembunyi atas nama kedaulatan bangsa, kenyataannya hanya untuk kepentingan Tanah dan Sumber Daya Alamnya. Untuk kepentingan merampok Tanah dan SDA Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata dengan rekayasa Pepera 1969.
"Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer (hal. 42)... "orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI." ( Amiruddin: hal.43).
Di Papua dalam Otonomi Khusus Jilid I benar-benar sukses REMILITERISASI di seluruh Papua. Jadi, Papua itu sudah menjadi rumahnya militer, yaitu Operasi Teritorial, Operasi Tempur dan Operasi Militer.
Persoalan Papua yang berakar dari kekerasan militer yang berbasis diskriminasi RASIAL sejak 1 Mei 1963 seperti ini telah menyebabkan Papua LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia yang tidak bisa diselesaikan dengan Operasi Teritorial, nanti luka semakin membusuk dan bernanah.
Prof. Dr. Franz Magnis sudah sampaikan kesimpulan penderitaan rakyat Papua dengan sempurna dan jelas sebagai berikut.
"Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya unuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus."
"Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia." (hal.255).
"...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam." (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
"Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia." (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
2. Apakah benar KESEJAHTERAAN adalah akar sejarah konflik Papua dengan Indonesia?
Lagi pula, Persoalan Papua bukan masalah "kesejahteraan" karena kata "kesejahteraan" bukan pernyataan baru. Itu pernyataan lama sejak 1969, tapi yang diulang-ulang oleh penguasa kolonial modern Indonesia sampai saat ini.
Menteri Dalam Negeri Indonesia Jenderal TNI Amir Machmud pernah berjanji dihadapan peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) pada 2 Juli 1969 di Merauke, sebagai berikut:
"...pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk KESEJAHTERAAN rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia."
( Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 28, p.42).
Pernyataan Amir Machmud ".....pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk KESEJAHTERAAN rakyat Irian Barat" sangat kontras dengan fakta-fakta selama 52 tahun sejak 1 Juli 1969. Yang dialami orang asli Papua sekarang bukan perlindungan dan kesejahteraan, tapi kekejaman Negara yang diperlihatkan dari waktu ke waktu.
Dengan tepat Theo van den broek mengatakan:
"...suara yang begitu terang untuk meminta perubahan pendekatan dalam menagani persoalan Papua, dari pendekatan keamanan ke pendekatan dialog, tidak didengar oleh pemerintahan di Jakarta. Bahkan, Presiden Jokowi semakin bergerak ke belakang dan perlahan-lahan keluar dari kerumitan persoalan Papua, sedangkan panggung semakin diduduki oleh pensiunan militer: Moeldoko, Ryamizard, Henropriyono, Prabowo, dan Wiranto. Dan, hal ini bukan berita baik bagi Papua." (Sumber: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum, 2019: 35).
Pendekatan Operasi Teritorial dengan jelas untuk memperkuat Kolonialisme, militerisme, kapitalisme, rasisme, fasisme, diskriminasi, ketidakadilan, marginalisasi, pelanggaran berat HAM, genosida (genocide), sejarah Pepera 1969 yang cacat hukum, moral dan tidak demokratis yang dimenangkan ABRI (kini: TNI) dengan moncong senjata adalah sumber sejarah konflik kekerasan Negara yang terlama/terpanjang di Asia yang menyebabkan wilayah Papua menjadi luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Akar persoalan Papua bukan KESEJAHTERAAN. Karena Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menemukan dan memetakkan empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
"Miminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun."
"Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat."
"Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005."
Doa dan harapan saya, tulisan ini membuka wawasan para pembaca. Selamat mengecap dan menikmati tulisan ini.
Ita Wakhu Purom, Senin, 29 November 2021
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
4. Aliansi Baptis Dunia (BWA).
© all rights reserved
made with by templateszoo