Showing posts with label PGBWP. Show all posts
Showing posts with label PGBWP. Show all posts

Surat.Gembala: TNI harus belajar sejarah proses politik penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia

SURAT GEMBALA

Perihal: TNI harus belajar sejarah proses politik penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia


Kepada Yang Terkasih,
Saudara Pangdam XVII Cenderawasih
Di Jayapura


Shalom!

Berkaitakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang paling kejam dan biadab dilakukan aparat keamanan anggota TNI yang sedang viral dalam bentuk vidio dan beredar secara masif ini sangat mengganggu nurani kemanusiaan kita semua dan tentu saja saya sebagai Gembala sekaligus sebagai bagian dari Penduduk Orang Asli Papua.

Perilaku aparat keamanan anggota TNI yang dipertontonkan penyiksaan terhadap seorang POAP yang dimasukkan dalam drum ini sungguh-sungguh diluar batas-batas wilayah rasa kemanusiaan yang dapat mencederai dan melukai hati kami POAP.

Saudara Pangdam, perilaku anggota TNI ini terlihat paling biadab, kejam, brutal, barbar, dan seperti berwatak teroris yang dikemas kebencian rasis dari aparat keamanan terhadap kami Penduduk Orang Asli pemilik Tanah ini.

Saudara Pangdam, kekejaman ini HANYA pengulangan peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelumnya, 
pada 10 Maret 2010 Pasukan TNI Batalyon Infanteri Yonif 756 yang menangkap Pendeta Kindeman Gire dan alat vitalnya dibakar dengan pisau sangkur panas dan meninggal dunia. Ada pula 17 Maret 2010 dan 30 Mei 2010 di Kampung Gurage Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, pasukan Yonif 753 menangkap dua warga sipil, Telangga Gire dengan Anggenpugu Gire dan interogasi, menendang dan menyiksa mereka dan TNI sendiri membuat vidio dan vidio itu menjadi viral di media sosial dan dipersoalkan oleh lembaga internasional PBB. KOMNAS HAM pernah menetapkan Kasus ini Pelanggaran HAM serius. (Sumber: Tempo Interaktif, 5 Januari 2021).

Belum lupa dalam ingatan kita kasus mutilasi yang terjadi pada 22 Agustus 2023 di kabupaten Mimika, ketika empat warga Nduga, yaitu Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Atis Tini, dan Lemaniol Nirigi pergi ke Timika untuk berbelanja. Pembunuhan dan mutilasi ini melibatkan enam anggota TNI aktif dan empat warga sipil sebagai pelaku.

Peristiwa 7 Februari dan 24 Februari 2024 di Yahukimo satu warga sipil yang tewas ditangan TNI dan dua pemuda warga sipil berinisial MH dan BGE ditangkap, diikat, ditahan dan disiksa. 

Saudara Pangdam, masih banyak rekaman kekejaman dan kejahatan militer di Tanah ini sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang. Kapan berakhir kekejaman dan kejahatan ini terhadap kami POAP?

Saudara Pangdam, perilaku ABRI (kini:TNI) yang paling kejam, brutal, barbar, rasis, fasis dan tidak mengenal rasa keadilan dan kemanusiaan itu dimulai sejak 19 Desember 1961, 1 Mei 1963 dan lebih terang terbukti dalam perampokan hak politik kami POAP pada Pepera 1969. Watak kejam militer itu belum pernah berubah tetapi kekejaman itu semakin menggurita dan berlanjut sampai hari ini.

Saudara Pangdam, kami bukan tidak mengerti proses politik Papua Barat dimasukkan secara paksa dengan moncong senjata ke dalam wilayah Indonesia. Kami sangat paham, mengerti, tahu dan sadar proses penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia penuh sandiwara dan konspirasi politik global dan keterlibatan militer secara langsung yang membuat POAP sangat menderita sampai sekarang.

Hak dasar politik kami rakyat dan bangsa Papua dirampok atau dihancurkan dengan moncong senjata oleh ABRI (sekarang: TNI) dalam pelaksanaan Pepera 1969 yang dimulai di Merauke 14 Juli sampai terakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.

Saudara Pangdam, saya sampaikan beberapa fakta kecil tentang kekejaman militer Indonesia yang menciptakan penderitaan panjang Penduduk Orang Asli Papua di atas Tanah leluhur kami sendiri. 

Kekejaman dan kejahatan TNI sebagian kecil yang tulis dalam surat ini sebagai berikut:

(1) Terlihat dalam dokumen militer Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radiogram MEN/PANGAD No: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, Perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman, referendum di IRBA tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.

(2) Adapun surat rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Komando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan Pepera di Merauke. Inti dari isi surat rahasia tersebut adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai Ketua Dewan Musyawarah Daerah dan Muspida akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia.” (Dutch National Newspaper, NRC Handelsbald, March 4, 2000).

(3) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Jenderal Amir Machmud pada 14 Juli 1969 di Merauke dihadapan DMP menyampaikan janji-janji OMONG KOSONG sebagai berikut:

"....pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia,.....(Sumber: UN Report A/7723, Corr.1, Annex 1,,p.195, GA item 98, p.28, p.42, 19 November 1969).

(4) Jenderal Ali Murtopo mengancama, menteror dan intimidasi kepada peserta DMP (Dewan Musyawarah Pepera di Jayapura pada 2 Agustus 1969, sebagai berikut:

"Jika Anda ingin merdeka sebaiknya Anda bertanya kepada Tuhan apakah Dia berbaik hati untuk membangun sebuah pulau di tengah Samudera Pasifik agar Anda bisa bermigrasi ke sana. Anda juga bisa menulis kepada orang Amerika. Mereka telah menyiapkan makanan di Bulan, mungkin mereka bersedia menyediakan tempat bagi Anda di sana. Siapa di antara kalian yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir ulang, karena jika kalian melakukannya, kemarahan rakyat Indonesia akan tertuju pada kalian. Lidahmu yang terkutuk akan dipotong dan mulutmu yang jahat akan dibelah. Lalu, saya Jenderal Ali Murtopo, akan turun tangan dan menembak Anda di tempat". (Sumber: Kesaksian Pdt. Origines Hokojoku dalam buku: Maire Leadbeater, SEE NO EVIL: New Zealand's Betrayal of the people of West Papua: 2018: 154).

(5) Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan dalam bukunya berjudul: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”
mengakui: 

“seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial  dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA dari Tahun 1965-1969, maka saya yakin PEPERA 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Mereka.” 

(6) Ada ancaman, teror dan intimidasi terbuka disampaikan oleh DANREM 172/PWY Kol.Kav. Burhanudin Siagian terlihat dalam media lokal Cenderawasih Pos, 12 Mei 2007 sebagai berikut:

"Pengkhianat Negara harus ditumpas. Jika saya temukan ada oknum-oknum orang yang sudah menikmati fasilitas Negara, tetap masih saja mengkhianati bangsa, maka terus-terang, saya akan tumpas. Tidak usah demonstrasi- demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang tidak berguna. Jangan lagi ungkit-ungkit sejarah Pepera 1969 masa lalu".
(Sumber: Socratez Yoman: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: 2007:346, ed.1).

Saudara Pangdam, seluruh kekejaman Negara melalui militer ini melahirkan pelanggaran HAM berat yang berlangsung dari waktu ke waktu yang mengindikasikan terjadinya proses pemusnahan etnis Penduduk Orang Asli Papua secara sistematis, terstruktur, masif, meluas, berkelanjutan dan kolektif.

Saudara Pangdam, kekejaman dan kejahatan ini digambarkan sebagai LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia oleh 
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan: 

"Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia." (hal.255).

"....kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam." (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: 

"Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia." (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601). 

Penyebab LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008),  yaitu: 

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; 

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

 (4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua. 

Saudara Pandam, melihat ketidakadilan dan kekejaman serta tragedi kemanusiaan yang kronis atau menahun seperti ini, kita harus akhiri, maka saudara Pangdam mendorong pemerintah Indonesia untuk duduk setara di meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia Helsinki pada 15 Agustus 2005. 

Saudara Pangdam, saya sangat mengerti dan tahu, usulan penyeleyesaian seperti ini ditolak keras oleh para Jenderal dalam tubuh militer, namun kalau menolak dan tidak setuju terus-menerus, maka HARUSKAH NKRI harga mati dipertahankan dengan cara-cara yang tidak bermartabat dengan menangkap, menyiksa, menembak dan menewaskan rakyat kecil?  

Saudara Pangdam, hukum Tabur dan Tuai itu tetap berlaku kapan saja dan kepada siapa saja sesuai perilaku mereka. Tolonglah tertipkan anggota-anggota TNI yang berwatak barbar, kriminal, rasialis, dan seperti teroris yang sangat merendahkan martabat kemanusiaan kami POAP itu, supaya hukuman dan murka Tuhan tidak menyimpa mereka, keluarga dan anak-cucunya.

Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.

Ita Wakhu Purom, 23 Maret 2024

Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Penulis: 

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
4. Aliansi Baptis Dunia (BWA).

Kontak: 08124888458//081288887882

DILARANG JUAL TANAH ATAU JANGAN MENJUAL TANAH (Kejadian 2:15)



Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA.

"FILOSOFI HIDUP ORANG LANI TANAH ADALAH KEHIDUPAN KAMI. Tanah sebagai kekayaan dan warisan sangat berharga dalam hidup orang Lani. Tanah sebagai sumber hidup orang Lani. Tanah sebagai Mama orang Lani. Tanah sebagai roh orang Lani. Tanah sebagai investasi dan modal hidup anak dan cucu Orang Lani. Karena itu, tidak ada alasan untuk jual tanah atau serahkan tanah kepada siapapun, alasan apapun dan kepentingan apapun." (Ndumma Socratez S.Yoman, Ita Wakhu Purom, 13 Mei 2019).
Menjual tanah berarti kita menyerahkan dan mengantungkan hidup kita di tangan orang-orang pendatang. Menjual tanah betarti kita menanam kemiskinan dan kemelaratan seumur hidup. Menjual tanah berarti kita menghancurkan masa depan anak dan cucu kami. Menjual tanah berarti kita membunuh masa depan anak dan cucu kami.
Setelah ada pernyataan iman dari Uskup Keuskupan Timika alm. Mgr. John Philipus Saklil, Pr, kita semua disadarkan dari ketidaksadaran dan dari kenyamanan dan kemapanan semu dan zona nyaman yang hampa.
Alm. Uskup John pernah menyatakan: “Rakyat Papua bisa hidup tanpa uang, tapi mereka tidak bisa hidup tanpa tanah.”
Pada 1 September 2018, kita disadarkan kembali oleh alm. Uskup Saklil, bahwa ia menolak dengan tegas program transmigrasi di Papua, termasuk di Kabupaten Mimika dengan alasan apapun, termasuk kepentingan pemekaran.
“Untuk apa program itu ada kalau hanya menggusur masyarakat lokal? Karena itu, pada prinsipnya Gereja tidak setuju dengan program transmigrasi bukan hanya di Mimika, tapi juga di seluruh Tanah Papua.”
Uskup lebih jauh menegaskan: “Aneh sekali kalau program transmigrasi dianggap sebagai solusi. Justru itu yang menyebabkan kerusakan sumber kehidupan masyrakat lokal. Dusun-dusun masyarakat lokal habis.”
Ia memperkuat dan mendukung pernyataan gubernur Papua. ” Gubernur juga tidak setuju, karena masuknya transmigrasi itu, maka warga lokal akan semakin tersisih dan menjadi kaum minoritas di tanahnya sendiri. Transmigrasi ini juga akan menimbulkan konflik karena timbul kecemburuan sosial. Transmigrasi tidak bisa menjawab persoalan itu.”
Alm.Uskup Saklil sebagai wajah TUHAN yang nyata telah menghadirkan Kerajaan Allah di bumi nyata. Mantan Uskup Timika ini hadirkan Injil di bumi Papua. “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Matius 6:10).
Alm. Uskup Saklil menjadi suara dan wajah Tuhan yang nyata di bumi Papua. “Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka” (Amsal 31:8-9).
Mengapa Uskup berdiri untuk umat Tuhan di West Papua sebagai kepanjangan tangan Tuhan Yesus? Karena, “…air mata orang-orang tertindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena dipihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan” (Pengkhitbah 4:1).
“Kalau engkau melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, janganlah heran akan perkara itu, karena pejabat yang satu mengawasi yang lain, begitu pula pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka” (Pengkhotbah 5:7).
Kongres Gereja Baptis Papua melarang menjual Tanah Salah satu keputusan Kongres ke-18 Gereja Baptis Papua pada 11-14 Desember 2017 di Wamena ialah dilarang menjual tanah di wilayah pelayanan Baptis, terutama di kabupaten Lanny Jaya. Karena sebelum ada kabupaten Lanny Jaya, wilayah ini sejak 28 Oktober 1956 adalah milik Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Siapapun dan dengan alasan apapun, Tanah di wilayah Baptis di Kabupaten Lanny Jaya tidak ada yang dijual. Semua aset, terutama tanah yang digunakan pemerintah/aparat keamanan akan direnegosiasi (dibicarakan) ulang. Tanah tidak akan dijual tapi disewa dan dikontrak.
Sikap Uskup Timika dan Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua dalam upaya menegakkan apa yang disampaikan oleh TUHAN Allah kepada Manusia pertama, Adam, “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkan dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kejadian 2:15).
Dalam perintah TUHAN sangat jelas, yaitu taman Eden Papua ini bukan untuk dijual, bukan untuk Transmigrasi, bukan untuk bangun basis TNI/Polri dan bangunan lain-lain. Taman Eden di Papua diberikan TUHAN kepada Orang Asli West Papua untuk USAHAKAN dan MEMELIHARA.
TUHAN memberikan kuasa, mandat dan tanggungjawab kepada kita supaya memelihara & mengusahakan: bangun rumah, buat kebun, buat kandang ternak babi, dll.
Kutuk, malapetaka, murka dari TUHAN Allah turun-temurun kepada orang-orang yang melanggar Firman TUHAN & dan jual Tanah.
Karena bagi orang yang menjual Tanah adalah orang yang tidak berhikmat dan tidak berakal budi. Orang yang menjual Tanah adalah orang tidak berilmu dan bodoh. Orang yang menjual Tanah adalah yang menciptakan kemiskinan pemanen untuk anak dan cucunya.
Orang menjual Tanah adalah orang yang menjadikan anak dan cucunya menjadi budak-budak dan pengemis abadi di atas tanah leluhur mereka. Orang yang menjual Tanah adalah orang yang tidak menghormati TUHAN dan leluhur/nenek moyangnya.
Orang yang menjual tanah mengantungkan hidup dan harapan semu/sia-sia kepada orang-orang pendatang. Orang yang menjual tanah adalah orang-orang yang menjual tulang belulang leluhur dan nenek moyangnya. Terkutuklah mereka yang menjual tanah.
Tanah adalah mama/ibu kita. Tanah adalah hidup kita. Tanah adalah kekayaan sangat berharga bagi anak dan cucu kita. Tanah adalah investasi dan tabungan dan kekayaan masa depan anak dan cucu kita.
Dengan dasar ini, saya berkampanye: TANAH JANGAN DIJUAL ATAU DILARANG JUAL TANAH.”
TUHAN Allah menugaskan kepada Adam dan Hawa dan kita semua sekarang supaya Taman Eden Papua ini diusahakan dan dipelihara bukan untuk dijual dan diserahkan kepada orang-orang pendatang.
"TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkan dalam taman Eden (Tanah Papua) untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (taman Papua)" (Kejadian 2:15).

Penulis: Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).

Ita Wakhu Purom, Kamis, 27 Februari 2020

Press Release: Pastor Dr. Socratez S. Yoman, MA, President of the Fellowship of Baptist Churches in West Papua.


The reality or fact is that now we live under an Indonesian ruler who is anti-democratic, anti-justice, anti-freedom, anti-peace, anti-equality and anti-humanity. This is the real reflection of the face of the colonial rulers of Indonesia. The Indonesian rulers have lost their conscience, common sense, and have no creativity or innovation because it is now proven that the approach of using violence through state apparatus is their way to solve the problems of injustice and crimes against humanity in Papua. The state itself has created a stalemate and is now creating new problems that are increasingly complicated and spiralling out of control.

The incident which took place on August 16, 2021, when Rev. Dr. Benny Giay, Chair of the Kingmi Synod in Papua and also Moderator of the West Papua Council of Churches (WPCC) was refused entry to the Papuan Peoples Representative building is a very embarrassing incident for the Indonesian police institution. Is this the face of the Indonesian police, the blockaders of a church leader who wanted to pray at the office of the Papuan people's representatives and also the blockaders of a peaceful demonstration of the Papuan people?

The rejection of the KNPB demonstration to demand the release of Viktor Yeimo in Jayapura and in Yahukimo on August 16, 2021, which killed one person, shows that the police are not only unprofessional and uneducated, but that they are also violent and criminal. This kind of cruelty and violence by the security forces has led to an increase in the Papuan people's distrust of Indonesia.

I strongly condemn the security forces in Yahukimo who killed one person in Yahukimo and injured the Chairman of KNPB, Agus Kosay and several KNPB members in Jayapura.

Ita Wakhu Purom, August 16, 2021
© all rights reserved
made with by templateszoo