Showing posts with label Komisi Tinggi HAM PBB. Show all posts
Showing posts with label Komisi Tinggi HAM PBB. Show all posts

Dewan Gereja Dunia (WCC) Bahas Situasi Krisis Hak Asasi Manusia di West Papua

hari ini, Selasa, 1 Oktober 2024

Acara sampingan “Hak Asasi Manusia di Indonesia” akan membahas krisis di Papua Barat

Acara sampingan Dewan Hak Asasi Manusia PBB ke-57 yang bertajuk  “ Hak Asasi Manusia di Indonesia, ”  yang diselenggarakan oleh Dewan Gereja Dunia (WCC) dan organisasi mitra pada tanggal 1 Oktober 2024, akan membahas situasi hak asasi manusia yang mengerikan di Papua Barat, dengan pelanggaran yang terus berlanjut termasuk pembunuhan di luar hukum, pengungsian internal karena konflik bersenjata, pembatasan kebebasan sipil, dan meningkatnya jumlah kasus perampasan tanah.

Acara ini akan mempertemukan perwakilan dan pakar akar rumput untuk mengeksplorasi tindakan praktis yang dapat diambil oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan aktor nasional dan internasional untuk mengatasi krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan yang semakin dalam di Papua Barat.

Pengadilan Rakyat Tetap juga akan menyampaikan temuan sidang dengar pendapat publiknya pada bulan Juli 2024, di mana ia memeriksa sejumlah bukti mengenai dampak lingkungan dari proyek pembangunan dan pelanggaran hak asasi manusia terkait di wilayah tersebut.

Dalam enam bulan pertama tahun 2024, tercatat telah terjadi pembunuhan di luar hukum yang terkait dengan konflik bersenjata yang sedang berlangsung antara pasukan keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (OPM-TPNPB). Lonjakan konflik bersenjata telah dilaporkan terjadi pada periode April-Juni 2024 yang terus mendorong pengungsian internal di antara orang-orang asli Papua. Hingga September 2024, 79.867 orang mengungsi secara internal tanpa akses ke kebutuhan dasar seperti makanan, layanan kesehatan dan pendidikan, dan akses terbatas ke kesempatan kerja. Jika mereka kembali ke desa dan rumah mereka, mereka dihadapkan dengan kehadiran keamanan yang besar, dan intimidasi serta pengawasan yang terus-menerus.

Kasus perampasan tanah di Kabupaten Merauke, Mimika, Deiyai, dan Sorong pada April-Juni 2024 terus meningkat. Hal ini menunjukkan semakin maraknya aksi investor swasta yang mengambil alih tanah dan sumber daya alam tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat Papua.

Ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah Indonesia untuk segera menangani konflik dan pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran, dan impunitas terkait melalui solusi berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Peter Prove, direktur Komisi Gereja WCC untuk Urusan Internasional (CCIA), akan memoderatori diskusi tersebut.

“ Pemerintah Indonesia memberikan transparansi yang sangat terbatas mengenai situasi di Papua Barat, dan akses yang lebih sedikit ke wilayah tersebut, ”  katanya.  “ Oleh karena itu, WCC bersyukur bahwa melalui kerja sama dengan mitra masyarakat sipilnya, kami dapat menyampaikan informasi mengenai krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia yang telah berlangsung lama yang dialami oleh masyarakat adat Papua kepada Dewan Hak Asasi Manusia, dan kepada masyarakat internasional yang lebih luas. Kami terus berharap bahwa dengan membagikan informasi ini, perhatian masyarakat internasional yang telah lama tertunda dapat digalang.”

Bergabunglah dengan acara ini secara langsung di sini , Selasa, 1 Oktober 2024, 13:00 CEST 

(ID Rapat 3353 -CR25 "Hak Asasi Manusia di Indonesia", Nomor Rapat: 2744 604 7986 Kata Sandi: ufTQvPJJ877) 

Pelajari lebih lanjut tentang pekerjaan WCC tentang "Martabat dan hak asasi manusia"

Komisi Gereja-gereja WCC untuk Urusan Internasional

TUHAN YESUS Sungguh Teramat Sangat Baik, Haleluya Amen 😢😇👑💫

https://www.oikoumene.org/news/human-rights-in-indonesia-side-event-will-address-crises-in-west-papua

Warga Sipil Disiksa Oknum TNI di Papua, President GIDI: Indonesia Buta Kemanusiaan


Oleh: Makawaru da Cunha I

PAPUAinside.id, SENTANI—Gereja Injili di Indonesia (GIDI), mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB turun ke West Papua, untuk menyelesaikan kasus penyiksaan, yang diduga dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil di Papua di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.

Video yang viral di sosial media itu memperlihatkan aksi penyayatan yang dilakukan prajurit TNI ke punggung warga sipil yang sedang direndam di dalam sebuah drum.

Hal ini ditegaskan President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo, ketika dikonfirmasi di Sentani, Jumat (22/3/2024).

Dorman mengatakan pihaknya juga mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Sedangkan Indonesia dan Papua duduk bersama, untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, yang sudah lama dan luka membusuk teriris hati Orang Asli Papua (OAP) ini.

“Itu sangat penting, kalau tidak kita akan menderita dipukul dan disiksa, seperti ini terus dan tanpa solusi,” tegas Dorman.

Dorman menuturkan, bahkan apabila diperlukan Komisaris Tinggi HAM PBB membuka kantor perwakilan di Papua.

“Ini sangat menolong, jika terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, maka orang Papua langsung mengadu ke Komisaris Tinggi HAM PBB,” tegasnya.

Menurut Dorman, dalam masa reformasi ini sejatinya negara hadir untuk menyampaikan informasi secara terbuka, termasuk kasus kekerasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan dan lain-lain.

“Tapi justru reformasi di tanah Papua tidak ada sama sekali, hak dan ruang gerak kami dibatasi, kami tidak menikmati kehidupan yang sesungguhnya, ketakutan yang luar biasa. Kami tidak boleh bicara tentang kebenaran dan keadilan. Kalau kami bicara tentang kebenaran dan keadilan kami dicurigai dan disoroti. Walaupun gereja-gereja di Papua melahirkan kader kader terbaik mereka duduki di kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi mereka sulit bersuara, karena nyawa mereka pun terancam. Orang pribumi yang hidup seluruh dunia, yang tidak bahagia itu orang Papua,” tandas Dorman, mengutip pernyataan mantan Gubernur Papua, Almarhum Lukas Enembe.

Dikatakan Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua bukan hal baru, tetapi dilakukan sejak masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Meski demikian, jelas Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kedepannya akan terus terulang.

“Kekerasan dan pelanggaran HAM membuat orang Papua trauma,” tukasnya.

Tiga Masa

Menurut Dorman, konflik dan kekerasan negara di tanah Papua terjadi dalam tiga masa, yakni di masa Orla, Orba dan Otsus Papua.

Konflik dan kekerasan negara di tanah Papua di masa Orla, seperti Pepera tahun 1969, yang tak melibatkan orang asli Papua, pembukaan PT Freeport tanpa melibatkan orang asli Papua, kemudian pengiriman transmigrasi ke tanah Papua tanpa izin seolah-olah Papua tanah kosong. Padahal di Papua ada orang dan ada kepala suku atau Ondoafi.

Konflik dan kekerasan negara di Tanah Papua di masa Orba, seperti terjadi genosida atau pemusnahan etnis, membangun basis militer, yang dulu disebut ABRI Masuk Desa (AMD).

“Mereka masuk bukan untuk menolong, tetapi justru membunuh laki- laki Papua dan memperkosa perempuan sampai saat ini perempuan-perempuan Papua tidak bisa dapat keturunan, karena penyiksaan yang luar biasa terjadi tahun 1977 dan 1978 oleh oknum TNI, membuat kita lari ke hutan tinggal di hutan selama 2 tahun dan saya salah satu saksi hidup yang jadi President GIDI hari ini,” kata Dorman tegas.

Di masa Orba, terangnya, orang tak mempunyai hak, untuk bebas berbicara, orang tak boleh kemana-mana, juga banyak orang-orang pintar yang ada di Papua dibunuh.

Karena itu, masyarakat Papua mari bersama gereja kita bersatu untuk menaikan “ DOA RATAPAN” Komisaris Tinggi HAM PBB turun di West Papua, bila perlu Perwakilan Kantor Komisaris HAM PBB bangun diatas tanah Papua. **

Warga Sipil Disiksa Oknum TNI di Papua, President GIDI: Indonesia Buta Kemanusiaan

By Makawaru- Maret 23, 20240134

President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo. (Foto: Humas GIDI/Mernus Mumbo)
Oleh: Makawaru da Cunha I

PAPUAinside.id, SENTANI—Gereja Injili di Indonesia (GIDI), mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB turun ke West Papua, untuk menyelesaikan kasus penyiksaan, yang diduga dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil di Papua di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.

Video yang viral di sosial media itu memperlihatkan aksi penyayatan yang dilakukan prajurit TNI ke punggung warga sipil yang sedang direndam di dalam sebuah drum.

Hal ini ditegaskan President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo, ketika dikonfirmasi di Sentani, Jumat (22/3/2024).

Dorman mengatakan pihaknya juga mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Sedangkan Indonesia dan Papua duduk bersama, untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, yang sudah lama dan luka membusuk teriris hati Orang Asli Papua (OAP) ini.

“Itu sangat penting, kalau tidak kita akan menderita dipukul dan disiksa, seperti ini terus dan tanpa solusi,” tegas Dorman.

Dorman menuturkan, bahkan apabila diperlukan Komisaris Tinggi HAM PBB membuka kantor perwakilan di Papua.

“Ini sangat menolong, jika terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, maka orang Papua langsung mengadu ke Komisaris Tinggi HAM PBB,” tegasnya.

Menurut Dorman, dalam masa reformasi ini sejatinya negara hadir untuk menyampaikan informasi secara terbuka, termasuk kasus kekerasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan dan lain-lain.

“Tapi justru reformasi di tanah Papua tidak ada sama sekali, hak dan ruang gerak kami dibatasi, kami tidak menikmati kehidupan yang sesungguhnya, ketakutan yang luar biasa. Kami tidak boleh bicara tentang kebenaran dan keadilan. Kalau kami bicara tentang kebenaran dan keadilan kami dicurigai dan disoroti. Walaupun gereja-gereja di Papua melahirkan kader kader terbaik mereka duduki di kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi mereka sulit bersuara, karena nyawa mereka pun terancam. Orang pribumi yang hidup seluruh dunia, yang tidak bahagia itu orang Papua,” tandas Dorman, mengutip pernyataan mantan Gubernur Papua, Almarhum Lukas Enembe.

Dikatakan Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua bukan hal baru, tetapi dilakukan sejak masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Meski demikian, jelas Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kedepannya akan terus terulang.

“Kekerasan dan pelanggaran HAM membuat orang Papua trauma,” tukasnya.

Tiga Masa

Menurut Dorman, konflik dan kekerasan negara di tanah Papua terjadi dalam tiga masa, yakni di masa Orla, Orba dan Otsus Papua.

Konflik dan kekerasan negara di tanah Papua di masa Orla, seperti Pepera tahun 1969, yang tak melibatkan orang asli Papua, pembukaan PT Freeport tanpa melibatkan orang asli Papua, kemudian pengiriman transmigrasi ke tanah Papua tanpa izin seolah-olah Papua tanah kosong. Padahal di Papua ada orang dan ada kepala suku atau Ondoafi.

Konflik dan kekerasan negara di Tanah Papua di masa Orba, seperti terjadi genosida atau pemusnahan etnis, membangun basis militer, yang dulu disebut ABRI Masuk Desa (AMD).

“Mereka masuk bukan untuk menolong, tetapi justru membunuh laki- laki Papua dan memperkosa perempuan sampai saat ini perempuan-perempuan Papua tidak bisa dapat keturunan, karena penyiksaan yang luar biasa terjadi tahun 1977 dan 1978 oleh oknum TNI, membuat kita lari ke hutan tinggal di hutan selama 2 tahun dan saya salah satu saksi hidup yang jadi President GIDI hari ini,” kata Dorman tegas.

Di masa Orba, terangnya, orang tak mempunyai hak, untuk bebas berbicara, orang tak boleh kemana-mana, juga banyak orang-orang pintar yang ada di Papua dibunuh.

Karena itu, masyarakat Papua mari bersama gereja kita bersatu untuk menaikan “ DOA RATAPAN” Komisaris Tinggi HAM PBB turun di West Papua, bila perlu Perwakilan Kantor Komisaris HAM PBB bangun diatas tanah Papua. **
© all rights reserved
made with by templateszoo