Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts

Warga Sipil Disiksa Oknum TNI di Papua, President GIDI: Indonesia Buta Kemanusiaan


Oleh: Makawaru da Cunha I

PAPUAinside.id, SENTANI—Gereja Injili di Indonesia (GIDI), mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB turun ke West Papua, untuk menyelesaikan kasus penyiksaan, yang diduga dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil di Papua di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.

Video yang viral di sosial media itu memperlihatkan aksi penyayatan yang dilakukan prajurit TNI ke punggung warga sipil yang sedang direndam di dalam sebuah drum.

Hal ini ditegaskan President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo, ketika dikonfirmasi di Sentani, Jumat (22/3/2024).

Dorman mengatakan pihaknya juga mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Sedangkan Indonesia dan Papua duduk bersama, untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, yang sudah lama dan luka membusuk teriris hati Orang Asli Papua (OAP) ini.

“Itu sangat penting, kalau tidak kita akan menderita dipukul dan disiksa, seperti ini terus dan tanpa solusi,” tegas Dorman.

Dorman menuturkan, bahkan apabila diperlukan Komisaris Tinggi HAM PBB membuka kantor perwakilan di Papua.

“Ini sangat menolong, jika terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, maka orang Papua langsung mengadu ke Komisaris Tinggi HAM PBB,” tegasnya.

Menurut Dorman, dalam masa reformasi ini sejatinya negara hadir untuk menyampaikan informasi secara terbuka, termasuk kasus kekerasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan dan lain-lain.

“Tapi justru reformasi di tanah Papua tidak ada sama sekali, hak dan ruang gerak kami dibatasi, kami tidak menikmati kehidupan yang sesungguhnya, ketakutan yang luar biasa. Kami tidak boleh bicara tentang kebenaran dan keadilan. Kalau kami bicara tentang kebenaran dan keadilan kami dicurigai dan disoroti. Walaupun gereja-gereja di Papua melahirkan kader kader terbaik mereka duduki di kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi mereka sulit bersuara, karena nyawa mereka pun terancam. Orang pribumi yang hidup seluruh dunia, yang tidak bahagia itu orang Papua,” tandas Dorman, mengutip pernyataan mantan Gubernur Papua, Almarhum Lukas Enembe.

Dikatakan Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua bukan hal baru, tetapi dilakukan sejak masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Meski demikian, jelas Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kedepannya akan terus terulang.

“Kekerasan dan pelanggaran HAM membuat orang Papua trauma,” tukasnya.

Tiga Masa

Menurut Dorman, konflik dan kekerasan negara di tanah Papua terjadi dalam tiga masa, yakni di masa Orla, Orba dan Otsus Papua.

Konflik dan kekerasan negara di tanah Papua di masa Orla, seperti Pepera tahun 1969, yang tak melibatkan orang asli Papua, pembukaan PT Freeport tanpa melibatkan orang asli Papua, kemudian pengiriman transmigrasi ke tanah Papua tanpa izin seolah-olah Papua tanah kosong. Padahal di Papua ada orang dan ada kepala suku atau Ondoafi.

Konflik dan kekerasan negara di Tanah Papua di masa Orba, seperti terjadi genosida atau pemusnahan etnis, membangun basis militer, yang dulu disebut ABRI Masuk Desa (AMD).

“Mereka masuk bukan untuk menolong, tetapi justru membunuh laki- laki Papua dan memperkosa perempuan sampai saat ini perempuan-perempuan Papua tidak bisa dapat keturunan, karena penyiksaan yang luar biasa terjadi tahun 1977 dan 1978 oleh oknum TNI, membuat kita lari ke hutan tinggal di hutan selama 2 tahun dan saya salah satu saksi hidup yang jadi President GIDI hari ini,” kata Dorman tegas.

Di masa Orba, terangnya, orang tak mempunyai hak, untuk bebas berbicara, orang tak boleh kemana-mana, juga banyak orang-orang pintar yang ada di Papua dibunuh.

Karena itu, masyarakat Papua mari bersama gereja kita bersatu untuk menaikan “ DOA RATAPAN” Komisaris Tinggi HAM PBB turun di West Papua, bila perlu Perwakilan Kantor Komisaris HAM PBB bangun diatas tanah Papua. **

Warga Sipil Disiksa Oknum TNI di Papua, President GIDI: Indonesia Buta Kemanusiaan

By Makawaru- Maret 23, 20240134

President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo. (Foto: Humas GIDI/Mernus Mumbo)
Oleh: Makawaru da Cunha I

PAPUAinside.id, SENTANI—Gereja Injili di Indonesia (GIDI), mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB turun ke West Papua, untuk menyelesaikan kasus penyiksaan, yang diduga dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil di Papua di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.

Video yang viral di sosial media itu memperlihatkan aksi penyayatan yang dilakukan prajurit TNI ke punggung warga sipil yang sedang direndam di dalam sebuah drum.

Hal ini ditegaskan President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo, ketika dikonfirmasi di Sentani, Jumat (22/3/2024).

Dorman mengatakan pihaknya juga mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Sedangkan Indonesia dan Papua duduk bersama, untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, yang sudah lama dan luka membusuk teriris hati Orang Asli Papua (OAP) ini.

“Itu sangat penting, kalau tidak kita akan menderita dipukul dan disiksa, seperti ini terus dan tanpa solusi,” tegas Dorman.

Dorman menuturkan, bahkan apabila diperlukan Komisaris Tinggi HAM PBB membuka kantor perwakilan di Papua.

“Ini sangat menolong, jika terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, maka orang Papua langsung mengadu ke Komisaris Tinggi HAM PBB,” tegasnya.

Menurut Dorman, dalam masa reformasi ini sejatinya negara hadir untuk menyampaikan informasi secara terbuka, termasuk kasus kekerasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan dan lain-lain.

“Tapi justru reformasi di tanah Papua tidak ada sama sekali, hak dan ruang gerak kami dibatasi, kami tidak menikmati kehidupan yang sesungguhnya, ketakutan yang luar biasa. Kami tidak boleh bicara tentang kebenaran dan keadilan. Kalau kami bicara tentang kebenaran dan keadilan kami dicurigai dan disoroti. Walaupun gereja-gereja di Papua melahirkan kader kader terbaik mereka duduki di kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi mereka sulit bersuara, karena nyawa mereka pun terancam. Orang pribumi yang hidup seluruh dunia, yang tidak bahagia itu orang Papua,” tandas Dorman, mengutip pernyataan mantan Gubernur Papua, Almarhum Lukas Enembe.

Dikatakan Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua bukan hal baru, tetapi dilakukan sejak masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Meski demikian, jelas Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kedepannya akan terus terulang.

“Kekerasan dan pelanggaran HAM membuat orang Papua trauma,” tukasnya.

Tiga Masa

Menurut Dorman, konflik dan kekerasan negara di tanah Papua terjadi dalam tiga masa, yakni di masa Orla, Orba dan Otsus Papua.

Konflik dan kekerasan negara di tanah Papua di masa Orla, seperti Pepera tahun 1969, yang tak melibatkan orang asli Papua, pembukaan PT Freeport tanpa melibatkan orang asli Papua, kemudian pengiriman transmigrasi ke tanah Papua tanpa izin seolah-olah Papua tanah kosong. Padahal di Papua ada orang dan ada kepala suku atau Ondoafi.

Konflik dan kekerasan negara di Tanah Papua di masa Orba, seperti terjadi genosida atau pemusnahan etnis, membangun basis militer, yang dulu disebut ABRI Masuk Desa (AMD).

“Mereka masuk bukan untuk menolong, tetapi justru membunuh laki- laki Papua dan memperkosa perempuan sampai saat ini perempuan-perempuan Papua tidak bisa dapat keturunan, karena penyiksaan yang luar biasa terjadi tahun 1977 dan 1978 oleh oknum TNI, membuat kita lari ke hutan tinggal di hutan selama 2 tahun dan saya salah satu saksi hidup yang jadi President GIDI hari ini,” kata Dorman tegas.

Di masa Orba, terangnya, orang tak mempunyai hak, untuk bebas berbicara, orang tak boleh kemana-mana, juga banyak orang-orang pintar yang ada di Papua dibunuh.

Karena itu, masyarakat Papua mari bersama gereja kita bersatu untuk menaikan “ DOA RATAPAN” Komisaris Tinggi HAM PBB turun di West Papua, bila perlu Perwakilan Kantor Komisaris HAM PBB bangun diatas tanah Papua. **

WPCC Tentang KOMNAS HAM NKRI DAN DIALOGUE

POSISI DEWAN GEREJA PAPUA (WPCC) TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK VERTIKAL INDONESIA-PAPUA SEBAGAI BERIKUT: 

1. KOMNAS HAM RI harus Mendukung penyelesaian 4 akar persoalan Papua yang sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 

2. KOMNAS HAM RI harus mendukung pernyataan Presiden RI, Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 untuk bertemu dengan kelompok pro-Referendum. 

3. KOMNAS HAM RI harus mendukung kunjungan Komisi HAM PBB ke Papua sesuai dengan desakan 84 Negara, Uni Eropa dan Pakar HAM PBB. 

4. Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Seruan Moral, 20 Maret 2022 dapat menilai langkah-langkah KOMNAS HAM imi ditempuh dalam rangka politik PENCITRAAN Negara Indonesia." Maka Dewan Gereja Papua mendesak KOMNAS HAM RI harus mendukung sikap resmi Dewan Gereja Papua (WPCC), dalam Seruan Moral 20 Maret 2022, sebagai berikut: 

"Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, kami tetap KONSISTEN mendesak dilakukannya Dialog antara Pemerintah Indonesia dengan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), seperti yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam penyelesaian konflik Aceh. 

5. Surat Gembala Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Februari 2021, sebagai berikut: 

"Presiden Jokowi, pada tanggal 30 September 2019, sudah berjanji di depan media masa di Jakarta bahwa pihaknya ingin bertemu dengan 'kelompok pro referendum Papua'. Sehingga kami percaya bahwa Indonesia/Jakarta pada akhirnya akan berunding dengan ULMWP. Melalui surat ini kami menagih janji tersebut." 

6. Pada 26 Agustus 2019, Dewan Gereja Papua (WPCC) juga meminta untuk KEADILAN dari Pemerintah Republik Indonesia atas masalah Papua seperti yang ditunjukkan kepada GAM di Aceh. Wakil Presidem Yusuf Kalla secara aktif mendorong dialog dengan GAM yang dimediasi pihak internasional, sementara ULMWP diberikan stigma KKB yang diperhadapkan dengan pendekatan militer. Oleh karena itu, kami menuntut Pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral." 

7. Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Surat Gembala pada tanggal 13 September 2019, sebagai berikut: 

"Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian yang permanen di Tanah Papua, sesuai dengan Seruan Surat Gembala yang pada tanggal 26 Agustus yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. 

KOMNAS HAM RI harus mendukung Perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral seperti GAM Aceh-RI di Helsinki pada 15 Agustus 2005. 

Posisi Dewan Gereja Papua (WPCC) jelas, maka atas dasar arahan dan petunjuk Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt. DR. Benny Giay, maka Dewan Gereja Papua tidak akan ada pertemuan dengan KOMNAS GAM RI. 

Terima kasih 

Jayapura, 1 April 2022 

Gembala DR. Socratez Yoman 

========= 

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

Gereja INJILI Di Indonesia Harus Berkiblat ke Melanesia?

Jawabannnya Secara Politik ke Melanesia, Secara Gerejawi Bertanggung-Jawab Menginjili Indonesia

Kami masih berdoa Gereja ini menjadi berkat buat orang Indonesia, sebagai balasan atas kejahatan orang Indonesia menguasai Tanah Papua dan membunuh Bangsa Papua.

GIDI bertanggungjawab meng-Kristen-kan Indonesia. 

GIDI menjadi berkat utk Indonesia, dan GIDI sebagai gereja di Indonesia terus menyuarakan aspirasi Bangsa Papua sebagai bagian dari misinya membebaskan Bangsa 2 dari penjajahan dan perbudakan dengan kakuatan Injil Kristus.

Ini berbeda dari Kasus Gereja Baptist dan Kemah Injil dan Katolik dan Pantekosta yang masuk bersama dan sebagai bagian packet NKRI, karena you kita keluar ke West Papua dan Melanesia.

GIDI dari West Papua Melanesia menjangkau Negara islam terbesar di Duníà. Itu Peperangan sesungguhnya kita semangati dan terus doakan!

Wa wa wa

CHINA-PAPUA ROAD MAP: RAKYAT CHINA/ TIONGHOA DAN PAPUA BARAT HARUS BERDIRI BERSAMA UNTUK MELAWAN DISKRIMINASI RASIAL DI INDONESIA

Artikel: Solidaritas CHINA-PAPUA 

"Karena rakyat Tionghoa atau rakyat China dan bangsa Papua bersama-sama menjadi korban diskriminasi RASIAL sistematis dan masif di Indonesia". 

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA

Sudah waktunya, rakyat dan bangsa Papua Barat keluar dari tempurung hoax, mitos, stigma dan label negatif penguasa kolonial modern Indonesia yang mematikan dan menghancurkan serta merendahkan martabat kemanusiaan kami dan masa depan anak dan cucu bangsa Papua. Maka, sudah saatnya dibentuk CHINA-PAPUA ROAD MAP atau dengan sebutan lain: "China-West Papua Movement Solidarity for Humanity, Equality, Friendship And Human Being Freedom". Atau Solidaritas Gerakan China-Papua Barat untuk Kemanusiaan, Kesetaraan, Persahabatan, dan Kebebasan Manusia. 

Gerakan Solidaritas rakyat Tionghoa dan rakyar Papua Barat ini sangat mendesak dibentuk karena fakta sebenarnya di Indonesia, ada dua bangsa yang sama-sama menjadi korban diskriminasi RASIAL yang terlama dan terpanjang dalam sejarah di Asia yaitu dari bangsa rakyat China dan bangsa Papua Barat. Oleh karena dasar itu, melalui artikel ini, penulis membuka mata, pikiran dan hati nurani semua orang untuk melihat diskriminasi rasial secara sistematik, terstruktur, terlembaga, masif dan kolektif di Indonesia dialami rakyat Tionghoa dan bangsa Papua Barat. Di Indonesia dua bangsa ini benar-benar menjadi korban diskriminasi rasial yang kejam dan tidak manusiawi. Rakyat Tionghoa/China menjadi korban yang bermotif ekonomi 

Rakyat China/Tionghoa menjadi korban diskriminasi rasial dari penguasa dan rakyat Indonesia karena motif ekonomi di Indonesia. Karena orang-orang Indonesia merasa dan juga melihat orang-orang China lebih berhasil dan maju secara ekonomi daripada orang-orang Indonesia sendiri. Penguasa dan rakyat Indonesia merasa disisihkan atau tidak mampu bersaing dengan Orang Tionghoa atau China yang lebih mendominasi dalam pergerakan bidang perekonomian di Indonesia. 

Dipihak rakyat dan bangsa Papua Barat menjadi korban yang berlapis-lapis, yaitu korban rasisme, fasisme, ketidakadilan, pelanggaran berat HAM-Pemusnahan etnis Papua, militerisme, kolonialisme, kapitalisme dan korban sejarah Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral yang dimenangkan ABRI. 

Menyadari kekejaman penguasa dan rakyat Indonesia, maka Rakyat Papua harus berkomitmen dan berdiri bersama rakyat Tionghoa/Rakyat China di Indonesia supaya tidak boleh ada orang China dibunuh secara massal. Tidak boleh perempuan-perempuan China yang diperkosa oleh bangsa Melayu Jawa seperti peristiwa anti komunis tahun 1965 dan peristiwa Mei 1998 lagi. 

Muhammad Kuhhibbuddin dalam buku Pramoedya Catatan dari Balik Penjara (2001:90) menuliskannya sebagai berikut: 

"...kebijakan yang mendiskriminasi warga Tionghoa di era Orde Lama itu sesungguhnya diciptakan oleh ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik sosial di masyarakat, dengan tujuan utama adalah untuk memutus hubungan antara Indonesia dengan RRC. ...bahwa diketahui itu anti-China sejak dulu, bagi Pram, sebenarnya lebih digerakkan oleh militer, terutama Angkatan Darat." 

Sebaliknya, rakyat dan bangsa Papua Barat tidak boleh lagi menjadi korban kekerasan, dan diskriminasi rasial. Kita harus hentikan kekejaman Negara dan rakyat Indonesia. 

Beberapa alasan utama penulis sebagai berikut: 

1. China bukan imperialis apalagi kolonialis. Pemerintah China tidak pernah invasi dengan kekuatan militer dan menjadikan wilayah tersebut sebagai wilayah jajahan. Pemerintah China tidak pernah menjajah Papua barat. 

2. Pemerintah China tidak pernah terlibat dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962, UNTEA 1962-1963. 

3. Pemerintah China tidak pernah terlibat dalam masuknya PT Freeport Amerika ke Papua Barat 1967. 

4. Pemerintah China tidak terlibat dalam PEPERA1969. 

5. Pemerintah China tidak pernah terlibat dalam konsep mendatangkan transmigrasi Jawa ke Papua. 

6. Pemerintah China tidak terlibat dalam pembuatan UU No. 21 tentang OTSUS untuk Papua. 

Dari enam alasan ini terbukti, Pemerintah China tidak pernah terlibat dalam semua proses dan tindakan yang menyebabkan pelanggaran berat HAM yang menuju pada pemusnahan etnis orang asli Papua. Yang terjadi di Indonesia ialah warga Tionghoa/rakyat China menjadi korban diskriminasi rasial yang seperti dialami rakyat Papua sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang. 

Mari, seluruh rakyat dan bangsa Papua di Papua Barat, di Indonesia, di Pasifik, di Eropa, di Afrika, di Amerika berdiri bersama-sama dengan rakyat Tionghoa untuk melawan diskriminasi rasial di Indonesia. Mari, kita berjuang bersama kehormatan martabat kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, kebebasan dan kedamaian untuk semua umat manusia. 

Rakyat dan bangsa Papua perlu hidup dengan kehidupan ekonomi, pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak dan manusiawi di atas Tanah leluhur kami. Kami tidak kenyang dengan rekayasa hoax, mitos, stigma dan label negatif. Rakyat dan bangsa membutuhkan sahabat yang tidak menggunakan moncong senjata tapi kami membutuhkan sahabat yang berbudi luhur dan berbicara dari hati untuk memajukan kami dalam berbagai bidang. Kami bangsa yang sangat terpuruk selama 58 sejak 1 Mei 1963. Masa depan kami sangat suram dalam penguasa tangan besi Indonesia. 

Rakyat dan bangsa Papua mengerti dan menyadari dan mengakui, bahwa 
Presiden Xi Jinping dan rakyat China bukan bangsa Komunis. Xi Jinping dan rakyatnya ciptaan Tuhan yang memiliki kebenaran-kebenaran hakiki, memiliki nurani luhur dan rasa kemanusiaan tinggi. Istilah Komunis adalah mitos dan hoax ciptaan Negara-Negara Barat dan penguasa Indonesia demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Negara-negara Barat dan Indonesia tidak mau disaingi secara politik, militer dan ekonomi oleh China. Sebagian besar penduduk bumi ini dirancuni pikiran mereka dan menjadi korban kepentingan politik dan ekonomi negara-negara barat dan Indonesia. Sebagian besar penduduk dunia dipenjarakan dalam pikiran negara-negara barat supaya secara bersama-sama memusuhi dan melawan China dengan mitos komunis. 

Xi Jinping pribadi dan pemimpin yang bernurani luhur karena kata-kata dan tindakannya selalu berjalan bersama. Jinping konsisten dengan perkataanya. Xi Jimping berdiri kokoh pada kebenaran hakiki untuk dirinya, keluarga, rakyatnya, bangsanya. 

Akhir dari artikel ini, saya tidak akan menjadi orang China karena saya menulis tentang Xi Jinping dan rakyat China. Saya orang Lani, orang Papua, bangsa Melanesia, saya orang Kristen beraliran Baptis, dan saya percaya dan beriman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juselamat saya. 

Seperti Matahari tetap matahari. Matahari tidak pernah berubah mengantikan posisi bulan atau bintang. China tetap China. Bangsa China diciptakan Tuhan sebagai manusia sama seperti kita semua, bukan dengan nama komunis. 

Terimalah Salam hangat dan rasa hormat serta doa saya kepada yang mulia bapak Presiden China, Xi Jinping dan rakyat China dari Ita Wakhu Purom, Melanesia, West Papua. 

Doa dan harapan penulis, artikel singkat ini menjadi berkat. Selamat Membaca. Tuhan memberkati. Waa...Waa....Kinaonak. 

Ita Wakhu Purom, 13 Agustus 2021 

Penulis: 
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA). 

======
Contak: 08124888458
Email: socratesyoman@gmail.com

Any talks with Jakarta must feature referendum - Papuan group

No comments 0

Victor Yeimo of the West Papua National Committee

Victor Yeimo of the West Papua National Committee Photo: Info West Papua

President Joko Widodo and his chief of staff have both told Indonesian media in recent days that they were prepared to meet anyone to discuss problems in Papua.The West Papuan pro-independence movement is insisting that genuine talks with Indonesia's government must address self-determination.
The president, known as Jokowi, was responding to a question from the press about whether he would hold a dialogue with pro-independence Papuan leaders.
Jokowi has appealed for calm in West Papua which has been gripped by weeks of large protests, a security forces crackdown and violent unrest that have left dozens of people dead.
While Indonesia has deployed over six thousand extra military and police to Papua, tensions in the region, as well as pro-independence sentiment, remain high.
It has added to pressure on a government also struggling to contain public discontent in Jakarta over several new laws which critics say undermine democracy.
In the interests of forging a way forward in Papua, the president's office was urged by representatives of the Papua and West Papua regional legislatures to have talks with the leading pro-independence groups, the West Papua National Committee (KNPB) and the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
The KNPB's international spokesman, Victor Yeimo, said they had been seeking meaningful talks with Jakarta for years without getting a response. He was cautious over the prospect, expecting Jokowi's usual emphasis on economic development in Papua to continue to be the focus.
After the widespread protests kicked off in late August, Jokowi invited a number of community and religious leaders from Papua to his palace. The meeting was billed as a way to discuss accelerating prosperity in Papua and West Papua provinces.
Mr Yeimo noted a discrepancy between the president's words and the actions of his government in employing a security approach to the peaceful expression of Papuan independence aspirations.
According to the KNPB, while Jakarta sees Papua as strictly an internal issue, in reality it's an international issue. Mr Yeimo said West Papuans seek intervention for a legitimate self-determination process under international law which they were denied in the 1960s when Indonesian took control of the former Dutch New Guinea.
"For us, we will not stop to demand the right of self-determination in West Papua," Mr Yeimo said.
"So, if Jokowi wants to dialogue, the main point for the dialogue is a referendum for the self-determination in West Papua, under the United Nations' supervision, mediated by a neutral or third party."
Mr Yeimo's comments echo those of the ULMWP's UK-based chairman Benny Wenda, who said at the United Nations last week that a deepening humanitarian crisis in his homeland underlined the urgent need for UN intervention.
While Jakarta has repeatedly stated that the incorporation of Papua into the republic is final, demonstrations by Papuans are becoming harder to ignore, even when the government resorts to cutting the internet in Papua as a response.
West Papuans protest against racism in Wamena, August 2019.
West Papuans protest against racism in
Wamena, August 2019. 
Photo: Supplied

Indonesian authorities have fingered the KNPB and the ULMWP as being provocateurs, alleging that the groups stirred the recent unrest in an attempt to disrupt the unitary republic by seeking independence.
Mr Yeimo denied this, saying the Papuan independence struggle belonged to neither group, but rather the people.
"The leaders, even KNPB and ULMWP, cannot determine the future of the people of West Papua. The only way is to give the people democratic space - hold a referendum so they can choose what they want for their future."
While Jokowi's response to the press question did not single out any particular group who he might meet for talks, mistrust between Jakarta and Papuan leaders remains the main stumbling block.
A senior government source told RNZ Pacific that the president's primary objective was to restore "full normalcy, stability and security" in Papua.

Security Issues Closes Down The PNG - West Papua Border at Wutung

PNG - Indo border closed today due to security issues. Early morning gunshots in the nearby bushes warrants heavy presence of both PNG and Indo soldiers here,’ a PNG border resident advised in a Social Media post this morning.
Wutung Primary School students were also reportedly sent home from school, due to the disturbance.

This follows weeks of protests and unrest across the border in the Indonesian Province of Papua – after violence broke out in August in the Indonesian Province of West Papua (two different Provinces) - during which more than 50 people have reportedly been killed, hundreds of people have reportedly been injured, buildings and property burned to the ground and trashed.

Papua Province lays adjacent to West Sepik Province in neighbouring Papua New Guinea.

Social Media has been flooded with videos, images and posts of the ongoing protests by West Papuans - many painted in the Red, white and blue colours of the banned West Papuan Morning Star flag - demanding Self Determination and Independence from Indonesia, despite the Indonesian Government moving in military reinforcements, and cutting off internet access purportedly to stop the spread of misinformation.

Internet access or not; news from ‘on the ground’ sources shows no signs of protests slowing down altogether or ceasing completely until a new generation of West Papuans (or Papuans) achieve their goal in gaining Self Determination and Independence from Indonesia.

The increased risk of negative spill over effects into Papua New Guinea and the impact on border trade & tourism relations is of concern to former long serving PNG Prime Minister Peter O’Neill, who in 2015 said: "I think, as a country, time has come for us to speak about the oppression of our people there."

By the end of 2018 the O’Neill Government had granted citizenship of PNG for free to more than 1,300 West Papuans living in PNG.

O’Neill – who last year also advocated for the West Papuan issue to be taken to the United Nations by Pacific Island Nation Regional Members - had the K10,000 citizenship application fee waived (set aside) and made free for West Papuan refugees.

In February this year– after being briefed on the situation at the border – O’Neill, as Prime Minister, personally paid a visit to the border and expressed disappointment at being ‘told lies’ about the real situation at the border.

Earlier tonight, O'Neill - who as PM promised to send a team to the border, and planned on returning later this year to personally follow up on projects for Wutung - said:

"The cries of the people of West Papua cannot be ignored by both the international community and the government of Indonesia. The constant human rights abuses experienced by Melanesians is unacceptable and warrants us to voice our concerns. PNG as the largest Melanesian brother can not continue to remain silent."

Pictured: The Morning Star Flag (on the right) flying alongside the PNG Flag (in 2015).Source: Facebook.com
© all rights reserved
made with by templateszoo