Featured

Doa dan Puasa,mengampuni, Renungan Harian, GIDI

SELECTED

WPRA,Mathias%20Wenda,Wutung

PAPUA NEW GUINEA

Papua New Guinea

WEST PAPUA

West Papua
Videos

Sang Sejarawan Gereja Katolik Dan Martir Bagi Generasi Manusia Papua

Oleh : Yasman Yaleget

Sebagai anak muda yang juga sebagai orang yang menganut agama katolik tentunya memiliki rasa keingintahuan yang tingghi tentang sejarah gereja, karya-karya misonasris dan semua upaya-upaya tentang adanya penyebaran misi katolik.

Dalam moment kegiatan ini kami mendapatkan bnayak pengetahuan tentang sejarah para misionaris dari berbagai ordo yang pernah melayani, berkarya bahkan sampai dnegan mengakhiri kehidupannya hanya untuk Tanah dan Manusia Papua. 

Sebuah cerita pengalaman kenangan hidup yang tidak akan pernah terlupakan baik secara pribadi maupun kelompok yang pada saat itu kami secara langsung dapat bertemu dengan salah seorang misionaris yang tiba di Tanah Papua (Irian Jaya) sebagai misionaris terkahir (semenjak adanya pemerintahan Soeharta”Orde Baru” menutup dan mengatakan tidak boleh ada lagi misionaris asal belandan semenjak 1978 entah apa alasanya. ) Tetapi masih sempat kedatangan misionaris katolik pada tahun 1983. 

Beliau adalah salah satu misionaris sekaligus sejarawan Fransiskan Katolik yang pernah bertugas pada awal tahun 80-an sampai dengan saat ini, dan beliau adalah Fransiskan Papua yang memiliki jiwa budaya Katolik yang sungguh luar biasa.

Pria kelahiran belanda 07 Maret 1939 dari keluarga pasangan Yohanes Nikolaus Dister dan ibunya bernama Maria Katarina. Pastor Profesor Dr. Nico Syukur Dister,OFM adalah seorang filsuf, guru besar, dan penulis serta teolog Katolik dari Fransiskan.

Pastor nico Mengucapkan kaulkekalnya di dalam persaudaran Fransiskan pada September 1962 dan di tabiskan sebagai imam di belanda pada maret 1964, ia menempuh pendidikan ilmu filsafat dan teologi di Belanda,Bergia dan Jerman Barat serta mendalammi ilmu psikologi terutama di psikologi agama.

Setelah ia meraih gelar Doktor (S3) di bidang filsafat di Universitas Leuven, Belgia pada 1972, dan ia mulai berkarya dan mengajar sebagai dosen di Indonesia. 

Dia mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat "Driyarkara", Jakarta sejak 1973, Sekolah Tinggi Filsafat Kateketik "Karya Wacana", Jakarta sejak 1977 dan pada tahun Sekolah Tinggi Filsafat "Fajar Timur" Abepura Jayapura sejak 1983, hingga memasuki usia pensiun (Emiritus). 

Selain dari ke tiga perguruan yang di sebutkan ia juga telah mengajar di beberapa perguruan tinggi lainya dan juga memiliki karya-karya filsafat,teologi dan psikolosgi agama dan berbagai artikel ilmiah lainya, antara lain :

• Bapak dan Ibu Sebagai Simbol Allah, Kanisius – BPK Gunung Mulia, 1983.
• Filsafat Agama Kristiani – BPK Gunung Mulia, 1985. 
• Kristologi, Sebuah Sketsa, Kanisius, 1987.
• Pengalaman dan Motivasi Beragama, Edisi Kedua, Kanisius, 1988.
• Filsafat Kebebasan, Kanisius, Cetakan pertama 1988, cetakan kedua 1991 dan cetakan ketiga 1993.

Setelah memasuki masa pensiuanan ia menetap di Biara Santo Antonius Sentani di masa senjanya, dan ia sungguh-sungguh memiliki hati untuk terus melayani umat Allah. 

Pater Nico juga telah melewati pesta 50 tahun masa hidup membiara sebagai Fransiskan dan pesta 50 tahun sebagai seorang imam fransiskan hingga saat ini ia memasuki usia 84 tahun di atas Tanah Papua.

Dalam menjalankan misi keselamatan dalam pewartaan dan karya-karyanya pastor Nico benar-benar memiliki kekuatan dan kasih hati yang sangat tinggi dalam memperhatikan generasi penerus negri papua yang tidak berkecukupan bertempat tinggal.

Untuk membantu semua kebutuhan generasi anak papua pada tahun 1992 pastor nico pertama kalinya mendirikan sebuah tempat penampungan,pembinaan serta pengarahaan anak-anak sebagai generasi papua yaitu panti asuhan Putri Kerahiman Ilahi dan kedua kalinya ia mendirikan Pantiasuhan Polomo Pada Tahun 2002, dan pastinya banyak karya-karya lainya yang tidak dapat penulis menuliskanya disini.

Sebagai penulis akan menceriterakan sedikit tentang bagaimana awal mengenali sosok pastor nico dalam pergumulannya hingga saat ini. 

Pada awal November 2022 di inisiasi suatu kegiatan ziarah makam misionaris oleh Sdr. Soleman, dan beberapa terman-teman lainya menggelar kegiatan ziarah makam para misionaris dan diskusi seputaran karya-karya para misionaris serta mengenang jasa atass semua para misoanaris yang pernah bersaja untuk manusia Papua di Biara Santo Antonius Sentani.

Ziarah ini dilakukan dalam rangka hari para arwah sedunia yang jatuh pada 2 November 2022. Seharusnya, kegiatan dilakukan pada hari itu, hanya saja karena bertabrakan dengan kegiatan para imam di biara ini, maka sepakat agar digelar pada tanggal 04 november 2024. 

Dalam momen ini kami mendoakan arwah para misionaris dari Tarekat Jesuit, Kongregasi Hati Kudus Yesus (MSC), Fransiskan Papua, Ordo Santo Agustinus (OSA), Ordo Salib Suci (OSC), imam Projo, katekis dan tokoh awam pribumi Papua yang menerima misionaris, katekis dan Katolik. 

Pada momen ini, orang tua dan anak muda, termasuk Pastor Nico Syukur Dister OFM yang hadir, satu-satunya misionaris yang masih bertahan di Keuskupan Jayapura, bertukar pikiran, tanya jawab dan melakukan refleksi bersama. 

Penulis bersama semua orang merasa heran, sedih dan bahkan menangis setelah mendengarkan cerita, terutama pengorbanan orang tua, misionaris, katekis dan semua orang yang berkeringat untuk menanamkan Katolik pada masa lalu.

Singkat cerita dalam moment itu kami pun masuk dalam pengujung acara yang mana kami akhiri dengan makan siang bersama. Ada satu kalimat singkat yang ia utarakan secara langsung kepada penulis bahwa “ Naput, Makanan Yang Telah Kalian Sediakan Pada Hari Ini Adalah Makanan Yang Paling Special Dan Istimewa Di Dunia.“ 

Setelah 2 tahun kemudian kami bertemu kembali di moment yang berbeda yaitu pada saat perayaan pesta kerahiman ilahi dan pemberkatan kapel kerahiman ilahi yang di selenggarakan oleh kelompok kerahiman ilahi papua bersama semua umat katolik di tanah papua tepatnya di daiget kabupaten keerom provinsi papua.

Lagi-lagi ia membuat hati umatnya sangat kagum dan terkesima di balik usianya yang samkain tua tetapi semangat melani dengan kasih untuk umat katolik dan atas kehadirannya yang terkahir kali untuk melakukan pemberkatan penandatanganan Batu Nisan Kapel Kerahiman Ilahi “Kwembobaba Dumamoy Daiyus”.

Pemberkatan dan perayaan pesta kerahiman ilahi di minggu pertama pasca paskah ini di laksakan 07 April 2024 dan di awali dengan jalan salib bersama yang di pimpin oleh pastor jhon Bunai.

Pada sejarah awal pada tahun 1937 semenjak ordo Fransiskan pertama datang ke papua mereka mengatakan bahwa “ Kami Di Utus Untuk Menanamkan Atau Menaburi Gereja Di Tanah Papua”.

Tetapi dalam sambutannya Pastor Nico mengatakan bahwa “Dari Sekian Tahun Dari Kemudian Bahwa Lebih Cocok Untuk Mengatakan Kami Datang Untuk Mencangkokan Gereja Di Papua.” Orang yang mencangkokan memakai apa yang sudah ada, tunas/ranting/ sisah pohon, yang di cangkokkan mulai berkembang dan menjadi dirinya sendiri, begitu pula injil di cangkokan pada Agama-Suku orang Papua sebelum kedatangan misionaris bukanlah orang tak beriman, dan orang Papua juga sebelumnya menyambah Tuhan Allah dengan cara yang belum lengkap dan belum sempurna. 

Misalnya, belum disadari bahwa Allah itu adalah Kasih, Allah itu kerahiman,allah itu berbelas kasih, itu unsur baru dan unsur itu di cangkkokan pada kesadaran keagamaan orang papua sendiri. 

Misi dan pandangan ini mulai berkembang ketika para misionaris bertamu dengan orang-orang papua dan merasakan pertemuan itu sebagai pemerkayaan kaish allah yang besar, sampai dengan hari ini saya di perkaya oleh adat istiadat orang Papua.

Satu minggu usai perayaan minggu pertama pesta Kerahiman Ilahi di Daiget rupanya kami dapat bertemu kembali yang ke tiga kalinya dan juga sekaligus pertemuan terakhir kami sebelum ia meniggalkan tanah papua, dan kembali ke negri asalnya Negri Kincir Angin (Belanda), tepatnya pada tanggal 14 April 2024 di panti asuhan Putri Kerahiman Ilahi Papua Sentani, pada momentum penyelenggaran penghargaan awam Katolik atas semua jasa dan karya-karyanya dan juga bersama para misioanaris lainya di Papua.

Satu pesan yang penulis kutib dalam momentum acara penghargaan ini, ialah pastor nico dister adalah seorang pastor ordo fransiskan dan itu sudah ada penggantinya oleh pastor-pastor OFM lainya, yang kedua pastor nico adalah pengajar dan itu sudah ada penggantinya oleh dosen-dosen lainya di STFT dan berbagai kampus lainnya, dan yang ke tiga semua bidang atas berbagai karyanya sudah ada semuanya.

Namun, yang menjadi persoalan ganjalan hati dan pikiran tersendiri oleh pastor nico adalah bagaimana kelanjutan anak-anak generasi papua yang ia akan tinggalkan ini, akan kah ada perhatian dari kaum awam ? ataukah dari para pastor pribumi ? Dan persoalan ini sungguh-sungguh menjadi sebuah beban hati dan batin dari seorang Pastor Nico ketika tiba di negri asalnya.

Pada akhir dari tulisan kecil ini banyak harapan, dan kesan yang ingin dapat dia oleh penulis namun, apa yang ingin di sampaikan itu penulis menyadari bahwa tidak akan cukup nilainya untuk membalas semua upaya, jasa dan karya-karya pastor nico syukur dister dan semua para misionaris yanng pernah berkaya di atas tanah papua ini, pada akhirnya sebagai anak muda dan mewakili semua anak muda papua penulis menyampaikan beribu-ribu terimakasih atas semua yang telah pastor berikan dan korbankan untuk Tanah dan kami manusia Papua. 

Selamat jalan semoga tiba dengan selamat, dan teruslah menjadi martir dalam Roh bagi kemanusian dan keadilan bagi manusia untuk meraih kebebasan diatas tanah Papua.

"Kebiasaan Tradisional Yang Tidak Sesuai Dengan Iman Dan Moral Injili Perlu Dimurnikan Bukan Dihilangkan, Apalagi Dimusnahkan” (Pastor Nico Syukur Dister, OFM)
 
Jayapura,17 April 2024

Warga Sipil Disiksa Oknum TNI di Papua, President GIDI: Indonesia Buta Kemanusiaan


Oleh: Makawaru da Cunha I

PAPUAinside.id, SENTANI—Gereja Injili di Indonesia (GIDI), mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB turun ke West Papua, untuk menyelesaikan kasus penyiksaan, yang diduga dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil di Papua di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.

Video yang viral di sosial media itu memperlihatkan aksi penyayatan yang dilakukan prajurit TNI ke punggung warga sipil yang sedang direndam di dalam sebuah drum.

Hal ini ditegaskan President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo, ketika dikonfirmasi di Sentani, Jumat (22/3/2024).

Dorman mengatakan pihaknya juga mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Sedangkan Indonesia dan Papua duduk bersama, untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, yang sudah lama dan luka membusuk teriris hati Orang Asli Papua (OAP) ini.

“Itu sangat penting, kalau tidak kita akan menderita dipukul dan disiksa, seperti ini terus dan tanpa solusi,” tegas Dorman.

Dorman menuturkan, bahkan apabila diperlukan Komisaris Tinggi HAM PBB membuka kantor perwakilan di Papua.

“Ini sangat menolong, jika terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, maka orang Papua langsung mengadu ke Komisaris Tinggi HAM PBB,” tegasnya.

Menurut Dorman, dalam masa reformasi ini sejatinya negara hadir untuk menyampaikan informasi secara terbuka, termasuk kasus kekerasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan dan lain-lain.

“Tapi justru reformasi di tanah Papua tidak ada sama sekali, hak dan ruang gerak kami dibatasi, kami tidak menikmati kehidupan yang sesungguhnya, ketakutan yang luar biasa. Kami tidak boleh bicara tentang kebenaran dan keadilan. Kalau kami bicara tentang kebenaran dan keadilan kami dicurigai dan disoroti. Walaupun gereja-gereja di Papua melahirkan kader kader terbaik mereka duduki di kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi mereka sulit bersuara, karena nyawa mereka pun terancam. Orang pribumi yang hidup seluruh dunia, yang tidak bahagia itu orang Papua,” tandas Dorman, mengutip pernyataan mantan Gubernur Papua, Almarhum Lukas Enembe.

Dikatakan Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua bukan hal baru, tetapi dilakukan sejak masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Meski demikian, jelas Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kedepannya akan terus terulang.

“Kekerasan dan pelanggaran HAM membuat orang Papua trauma,” tukasnya.

Tiga Masa

Menurut Dorman, konflik dan kekerasan negara di tanah Papua terjadi dalam tiga masa, yakni di masa Orla, Orba dan Otsus Papua.

Konflik dan kekerasan negara di tanah Papua di masa Orla, seperti Pepera tahun 1969, yang tak melibatkan orang asli Papua, pembukaan PT Freeport tanpa melibatkan orang asli Papua, kemudian pengiriman transmigrasi ke tanah Papua tanpa izin seolah-olah Papua tanah kosong. Padahal di Papua ada orang dan ada kepala suku atau Ondoafi.

Konflik dan kekerasan negara di Tanah Papua di masa Orba, seperti terjadi genosida atau pemusnahan etnis, membangun basis militer, yang dulu disebut ABRI Masuk Desa (AMD).

“Mereka masuk bukan untuk menolong, tetapi justru membunuh laki- laki Papua dan memperkosa perempuan sampai saat ini perempuan-perempuan Papua tidak bisa dapat keturunan, karena penyiksaan yang luar biasa terjadi tahun 1977 dan 1978 oleh oknum TNI, membuat kita lari ke hutan tinggal di hutan selama 2 tahun dan saya salah satu saksi hidup yang jadi President GIDI hari ini,” kata Dorman tegas.

Di masa Orba, terangnya, orang tak mempunyai hak, untuk bebas berbicara, orang tak boleh kemana-mana, juga banyak orang-orang pintar yang ada di Papua dibunuh.

Karena itu, masyarakat Papua mari bersama gereja kita bersatu untuk menaikan “ DOA RATAPAN” Komisaris Tinggi HAM PBB turun di West Papua, bila perlu Perwakilan Kantor Komisaris HAM PBB bangun diatas tanah Papua. **

Warga Sipil Disiksa Oknum TNI di Papua, President GIDI: Indonesia Buta Kemanusiaan

By Makawaru- Maret 23, 20240134

President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo. (Foto: Humas GIDI/Mernus Mumbo)
Oleh: Makawaru da Cunha I

PAPUAinside.id, SENTANI—Gereja Injili di Indonesia (GIDI), mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB turun ke West Papua, untuk menyelesaikan kasus penyiksaan, yang diduga dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil di Papua di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.

Video yang viral di sosial media itu memperlihatkan aksi penyayatan yang dilakukan prajurit TNI ke punggung warga sipil yang sedang direndam di dalam sebuah drum.

Hal ini ditegaskan President GIDI Pendeta Dorman Wandikbo, ketika dikonfirmasi di Sentani, Jumat (22/3/2024).

Dorman mengatakan pihaknya juga mendorong Komisaris Tinggi HAM PBB menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Sedangkan Indonesia dan Papua duduk bersama, untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, yang sudah lama dan luka membusuk teriris hati Orang Asli Papua (OAP) ini.

“Itu sangat penting, kalau tidak kita akan menderita dipukul dan disiksa, seperti ini terus dan tanpa solusi,” tegas Dorman.

Dorman menuturkan, bahkan apabila diperlukan Komisaris Tinggi HAM PBB membuka kantor perwakilan di Papua.

“Ini sangat menolong, jika terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, maka orang Papua langsung mengadu ke Komisaris Tinggi HAM PBB,” tegasnya.

Menurut Dorman, dalam masa reformasi ini sejatinya negara hadir untuk menyampaikan informasi secara terbuka, termasuk kasus kekerasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan dan lain-lain.

“Tapi justru reformasi di tanah Papua tidak ada sama sekali, hak dan ruang gerak kami dibatasi, kami tidak menikmati kehidupan yang sesungguhnya, ketakutan yang luar biasa. Kami tidak boleh bicara tentang kebenaran dan keadilan. Kalau kami bicara tentang kebenaran dan keadilan kami dicurigai dan disoroti. Walaupun gereja-gereja di Papua melahirkan kader kader terbaik mereka duduki di kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi mereka sulit bersuara, karena nyawa mereka pun terancam. Orang pribumi yang hidup seluruh dunia, yang tidak bahagia itu orang Papua,” tandas Dorman, mengutip pernyataan mantan Gubernur Papua, Almarhum Lukas Enembe.

Dikatakan Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua bukan hal baru, tetapi dilakukan sejak masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Meski demikian, jelas Dorman, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kedepannya akan terus terulang.

“Kekerasan dan pelanggaran HAM membuat orang Papua trauma,” tukasnya.

Tiga Masa

Menurut Dorman, konflik dan kekerasan negara di tanah Papua terjadi dalam tiga masa, yakni di masa Orla, Orba dan Otsus Papua.

Konflik dan kekerasan negara di tanah Papua di masa Orla, seperti Pepera tahun 1969, yang tak melibatkan orang asli Papua, pembukaan PT Freeport tanpa melibatkan orang asli Papua, kemudian pengiriman transmigrasi ke tanah Papua tanpa izin seolah-olah Papua tanah kosong. Padahal di Papua ada orang dan ada kepala suku atau Ondoafi.

Konflik dan kekerasan negara di Tanah Papua di masa Orba, seperti terjadi genosida atau pemusnahan etnis, membangun basis militer, yang dulu disebut ABRI Masuk Desa (AMD).

“Mereka masuk bukan untuk menolong, tetapi justru membunuh laki- laki Papua dan memperkosa perempuan sampai saat ini perempuan-perempuan Papua tidak bisa dapat keturunan, karena penyiksaan yang luar biasa terjadi tahun 1977 dan 1978 oleh oknum TNI, membuat kita lari ke hutan tinggal di hutan selama 2 tahun dan saya salah satu saksi hidup yang jadi President GIDI hari ini,” kata Dorman tegas.

Di masa Orba, terangnya, orang tak mempunyai hak, untuk bebas berbicara, orang tak boleh kemana-mana, juga banyak orang-orang pintar yang ada di Papua dibunuh.

Karena itu, masyarakat Papua mari bersama gereja kita bersatu untuk menaikan “ DOA RATAPAN” Komisaris Tinggi HAM PBB turun di West Papua, bila perlu Perwakilan Kantor Komisaris HAM PBB bangun diatas tanah Papua. **

Surat.Gembala: TNI harus belajar sejarah proses politik penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia

SURAT GEMBALA

Perihal: TNI harus belajar sejarah proses politik penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia


Kepada Yang Terkasih,
Saudara Pangdam XVII Cenderawasih
Di Jayapura


Shalom!

Berkaitakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang paling kejam dan biadab dilakukan aparat keamanan anggota TNI yang sedang viral dalam bentuk vidio dan beredar secara masif ini sangat mengganggu nurani kemanusiaan kita semua dan tentu saja saya sebagai Gembala sekaligus sebagai bagian dari Penduduk Orang Asli Papua.

Perilaku aparat keamanan anggota TNI yang dipertontonkan penyiksaan terhadap seorang POAP yang dimasukkan dalam drum ini sungguh-sungguh diluar batas-batas wilayah rasa kemanusiaan yang dapat mencederai dan melukai hati kami POAP.

Saudara Pangdam, perilaku anggota TNI ini terlihat paling biadab, kejam, brutal, barbar, dan seperti berwatak teroris yang dikemas kebencian rasis dari aparat keamanan terhadap kami Penduduk Orang Asli pemilik Tanah ini.

Saudara Pangdam, kekejaman ini HANYA pengulangan peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelumnya, 
pada 10 Maret 2010 Pasukan TNI Batalyon Infanteri Yonif 756 yang menangkap Pendeta Kindeman Gire dan alat vitalnya dibakar dengan pisau sangkur panas dan meninggal dunia. Ada pula 17 Maret 2010 dan 30 Mei 2010 di Kampung Gurage Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, pasukan Yonif 753 menangkap dua warga sipil, Telangga Gire dengan Anggenpugu Gire dan interogasi, menendang dan menyiksa mereka dan TNI sendiri membuat vidio dan vidio itu menjadi viral di media sosial dan dipersoalkan oleh lembaga internasional PBB. KOMNAS HAM pernah menetapkan Kasus ini Pelanggaran HAM serius. (Sumber: Tempo Interaktif, 5 Januari 2021).

Belum lupa dalam ingatan kita kasus mutilasi yang terjadi pada 22 Agustus 2023 di kabupaten Mimika, ketika empat warga Nduga, yaitu Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Atis Tini, dan Lemaniol Nirigi pergi ke Timika untuk berbelanja. Pembunuhan dan mutilasi ini melibatkan enam anggota TNI aktif dan empat warga sipil sebagai pelaku.

Peristiwa 7 Februari dan 24 Februari 2024 di Yahukimo satu warga sipil yang tewas ditangan TNI dan dua pemuda warga sipil berinisial MH dan BGE ditangkap, diikat, ditahan dan disiksa. 

Saudara Pangdam, masih banyak rekaman kekejaman dan kejahatan militer di Tanah ini sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang. Kapan berakhir kekejaman dan kejahatan ini terhadap kami POAP?

Saudara Pangdam, perilaku ABRI (kini:TNI) yang paling kejam, brutal, barbar, rasis, fasis dan tidak mengenal rasa keadilan dan kemanusiaan itu dimulai sejak 19 Desember 1961, 1 Mei 1963 dan lebih terang terbukti dalam perampokan hak politik kami POAP pada Pepera 1969. Watak kejam militer itu belum pernah berubah tetapi kekejaman itu semakin menggurita dan berlanjut sampai hari ini.

Saudara Pangdam, kami bukan tidak mengerti proses politik Papua Barat dimasukkan secara paksa dengan moncong senjata ke dalam wilayah Indonesia. Kami sangat paham, mengerti, tahu dan sadar proses penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia penuh sandiwara dan konspirasi politik global dan keterlibatan militer secara langsung yang membuat POAP sangat menderita sampai sekarang.

Hak dasar politik kami rakyat dan bangsa Papua dirampok atau dihancurkan dengan moncong senjata oleh ABRI (sekarang: TNI) dalam pelaksanaan Pepera 1969 yang dimulai di Merauke 14 Juli sampai terakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.

Saudara Pangdam, saya sampaikan beberapa fakta kecil tentang kekejaman militer Indonesia yang menciptakan penderitaan panjang Penduduk Orang Asli Papua di atas Tanah leluhur kami sendiri. 

Kekejaman dan kejahatan TNI sebagian kecil yang tulis dalam surat ini sebagai berikut:

(1) Terlihat dalam dokumen militer Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radiogram MEN/PANGAD No: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, Perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman, referendum di IRBA tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.

(2) Adapun surat rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Komando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan Pepera di Merauke. Inti dari isi surat rahasia tersebut adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai Ketua Dewan Musyawarah Daerah dan Muspida akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia.” (Dutch National Newspaper, NRC Handelsbald, March 4, 2000).

(3) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Jenderal Amir Machmud pada 14 Juli 1969 di Merauke dihadapan DMP menyampaikan janji-janji OMONG KOSONG sebagai berikut:

"....pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia,.....(Sumber: UN Report A/7723, Corr.1, Annex 1,,p.195, GA item 98, p.28, p.42, 19 November 1969).

(4) Jenderal Ali Murtopo mengancama, menteror dan intimidasi kepada peserta DMP (Dewan Musyawarah Pepera di Jayapura pada 2 Agustus 1969, sebagai berikut:

"Jika Anda ingin merdeka sebaiknya Anda bertanya kepada Tuhan apakah Dia berbaik hati untuk membangun sebuah pulau di tengah Samudera Pasifik agar Anda bisa bermigrasi ke sana. Anda juga bisa menulis kepada orang Amerika. Mereka telah menyiapkan makanan di Bulan, mungkin mereka bersedia menyediakan tempat bagi Anda di sana. Siapa di antara kalian yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir ulang, karena jika kalian melakukannya, kemarahan rakyat Indonesia akan tertuju pada kalian. Lidahmu yang terkutuk akan dipotong dan mulutmu yang jahat akan dibelah. Lalu, saya Jenderal Ali Murtopo, akan turun tangan dan menembak Anda di tempat". (Sumber: Kesaksian Pdt. Origines Hokojoku dalam buku: Maire Leadbeater, SEE NO EVIL: New Zealand's Betrayal of the people of West Papua: 2018: 154).

(5) Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan dalam bukunya berjudul: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”
mengakui: 

“seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial  dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA dari Tahun 1965-1969, maka saya yakin PEPERA 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Mereka.” 

(6) Ada ancaman, teror dan intimidasi terbuka disampaikan oleh DANREM 172/PWY Kol.Kav. Burhanudin Siagian terlihat dalam media lokal Cenderawasih Pos, 12 Mei 2007 sebagai berikut:

"Pengkhianat Negara harus ditumpas. Jika saya temukan ada oknum-oknum orang yang sudah menikmati fasilitas Negara, tetap masih saja mengkhianati bangsa, maka terus-terang, saya akan tumpas. Tidak usah demonstrasi- demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang tidak berguna. Jangan lagi ungkit-ungkit sejarah Pepera 1969 masa lalu".
(Sumber: Socratez Yoman: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: 2007:346, ed.1).

Saudara Pangdam, seluruh kekejaman Negara melalui militer ini melahirkan pelanggaran HAM berat yang berlangsung dari waktu ke waktu yang mengindikasikan terjadinya proses pemusnahan etnis Penduduk Orang Asli Papua secara sistematis, terstruktur, masif, meluas, berkelanjutan dan kolektif.

Saudara Pangdam, kekejaman dan kejahatan ini digambarkan sebagai LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia oleh 
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan: 

"Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia." (hal.255).

"....kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam." (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: 

"Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia." (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601). 

Penyebab LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008),  yaitu: 

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; 

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

 (4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua. 

Saudara Pandam, melihat ketidakadilan dan kekejaman serta tragedi kemanusiaan yang kronis atau menahun seperti ini, kita harus akhiri, maka saudara Pangdam mendorong pemerintah Indonesia untuk duduk setara di meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia Helsinki pada 15 Agustus 2005. 

Saudara Pangdam, saya sangat mengerti dan tahu, usulan penyeleyesaian seperti ini ditolak keras oleh para Jenderal dalam tubuh militer, namun kalau menolak dan tidak setuju terus-menerus, maka HARUSKAH NKRI harga mati dipertahankan dengan cara-cara yang tidak bermartabat dengan menangkap, menyiksa, menembak dan menewaskan rakyat kecil?  

Saudara Pangdam, hukum Tabur dan Tuai itu tetap berlaku kapan saja dan kepada siapa saja sesuai perilaku mereka. Tolonglah tertipkan anggota-anggota TNI yang berwatak barbar, kriminal, rasialis, dan seperti teroris yang sangat merendahkan martabat kemanusiaan kami POAP itu, supaya hukuman dan murka Tuhan tidak menyimpa mereka, keluarga dan anak-cucunya.

Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.

Ita Wakhu Purom, 23 Maret 2024

Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Penulis: 

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
4. Aliansi Baptis Dunia (BWA).

Kontak: 08124888458//081288887882

Cerita Karya Misionaris Fransiskan (OFM) Di Hubulama (Lembah Balim)

Cerita Karya Misionaris Fransiskan (OFM) Di Hubulama (Lembah Balim).

Oleh, Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM

1. Pengantar Misi Fransiskan di Papua

Cerita mengenai misi para Fransiskan di daerah yang waktu itu bernama Nederlands Nieuw Guinea, dimulai dengan adanya sepucuk surat pendek yang ditulis oleh Provinsial Misionaris Hati Kudus, Pater Nico Verhoeven, MSC, pada tanggal 23 November 1935 kepada Pater Paulus Stein, OFM, Kustos dari Fransiskan Belanda. Isi surat itu kurang lebih berbunyi: Mgr. Aerts, MSC, Vikaris Apostolik dari Nederlands Nieuw Guinea, mengusulkan kepada kami supaya mencari sebuah Ordo atau Kongregasi yang bersedia mengambil ahli sebagian dari Vikariat yang sangat luas dan sebagiannya belum digarap (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Jayapura: Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua, 2012, hal. 3). 

Secara jujur dapat dikatakan bahwa Fransiskan (OFM) tidaklah begitu kenal dengan daerah yang ditawarkan itu, tetapi itupun tidak aneh. Perlu diakui bahwa usaha-usaha pembicaraan antara pihak MSC dan OFM di Belanda tidak membawa hasil yang memuaskan. Masalah yang cukup berat ialah masalah keuangan Ordo, pada waktu itu situasi Belanda cukup mempengaruhi pendapatan Ordo dalam hal keuangan. Selain itu, Fransiskan Belanda juga mempunyai daerah misi di tempat lain. Tempat-tempat itu antara lain Cina, Brasilia dan Norwegia. Tempat misi ini membutuhkan biaya hidup yang cukup tinggi. Apalagi ditambah dengan daerah misi baru yakni Nederlands Nieuw Guinea.

Dengan perbicangan yang begitu lama, baik antara pihak OFM Belanda, pihak MSC Belanda dan Propaganda Fidei (Roma). Akhirnya pada tanggal 28 September 1936, Prefek Propaganda Fidei menyerahkan misi baru ini kepada Fransiskan dan atas kesepakan bersama antara MSC dan OFM yang kemudian hari menjadi misi yang mandiri dari Fransiskan.

Dua hal penting yang masih harus dilakukan, yaitu harus diadakan kesepakan antara Vikaris Apostolik Nederlands Nieuw Guinea dan Provinsi Ordo Fratrum Minorum (OFM) Belanda. Selain itu masih harus diselanggarakan pengutusan dan perpisahan secara gerejani. Kesepakan itu ditandatangani pada 22 Desember 1936 di Tilburg oleh Minister Provinsial Belanda, Pater Honoratus Caminada, OFM dan Superior Provinsi MSC Belanda Pater Nico Verhoeven, MSC. Yang terakhir ini, menandatangani kesepakatan tersebut atas nama Vikaris Apostolik Nederlands Nieuw Guinea Mgr. Aerts, MSC. Di dalamnya dijelaskan pertama-tama tentang daerah misi yang akan diberikan kepada Fransiskan (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Red, hal. 12-13).

Perpisahan secara gerejawi para misionaris pertama pada tanggal 29 Desember 1936 di gereja Hartenbrug Leiden. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa bersejarah dalam pembukaan misi baru di Papua. Perayaan ini dilakukan secara meriah dan disiarkan oleh salah satu radio di Belanda (KRO). Hampir seluruh anggota OFM Belanda hadir dalam peristiwa ini. Di saat yang sama Pater Provinsial menyerahkan salib misi kepada saudara-saudara yang akan menjadi misionaris di Papua. Setalah perayaan Ekaristi itu selesai, perpisahan pun terjadi, kerena keenam misionaris Papua itu langsung berangkat ke Genua dengan kereta api. Sesampai di Genua mereka akan menggunakan Kapal laut menuju Papua.
Keenam Misionaris OFM dari Belanda yang ditugaskan di tanah Misi Nieuw - Guinea (sekarang dikenal dengan "Papua"). Mereka berangkat dari Belanda pada tanggal 29 Desember 1936. Para saudara ini terdiri dari lima orang pastor dan satu orang Bruder. Pada tanggal 29 Januari 1937, keenam Misionaris ini tiba di Batavia (sekarang Jakarta) Jawa. Perkenalan mereka dengan dunia Hindia - Belanda sangat menakjubkan mereka.

Tulis Sdr. Van Egmon : "semuanya menakjubkan, kota, alam, cara hidup orang-orang setempat, sebagaimana saudara-saudara bertingkah laku, singkatnya semuanya itu bagi kami merupakan dunia baru. Waktu di Belanda, sesungguhnya kami tidak mengetahui sedikit pun tentang dunia dengan iklim tropis".

Sebelum ke Papua, perjalanan mereka melalui Makassar dan Ambon, dengan tujuan Tual-Langgur di Kei Kecil (tempat ini adalah pusat Misi Katolik untuk Nieuw Guinea dan Pusat "Missionarii Sacratissimi Cordis" dikenal dengan MSC). Mereka diterima sangat hangat dan ramah di Tual-Langgur. Dari Tual mereka menyebar. Sdr. Van Egmond dan Sdr. Vugts pergi ke Ternate (Maluku Utara), yang pada awalnya Ternate menjadi pusat misi yang baru bagi OFM. Sdr. Moors dan Sdr. Vendrig ditentukan ke Manokwari (Papua Barat). Sedangkan Sdr. Louter dan Sdr. Tettero berangkat ke Kaimana (Papua Barat). Maka pada tanggal 18 Maret 1937, mereka untuk pertama kalinya menginjakan kaki di Nieuw Guinea. Dari Kaimana (Papua Barat), Sdr. Louter dan Sdr. Tettero ke Fak-Fak (Papua Barat), tepatnya di desa Gewirpe.

2. Cerita Awal Misi Fransiskan di Hubula (Lembah Balim).

Upaya Misionaris Katolik (OFM) untuk melakukan suatu Misi ke daerah Lembah Baliem, mengalami berbagai kegagalan. Mulai dari Sdr. Misael Kammerer ( Sdr ini dikenal sebagai seorang yang tangguh menjelajahi daerah pegunungan Papua) yang melakukan perjalan dari ke Lembah Baliem via Ilaga ( Skrng Kab. Puncak- Prov. Papua) bersama dengan orang-orang yg bersedia mengantarnya pada perjalan itu. Sdr. Misael ditemani oleh seorang guru, dia adalah Moses Kilangin (Putra Amungme). Dengan setia sang guru ini, bersedia mengantar Sdr. Misael dalam Misi tersebut. Perjalan ini pada kenyataannya tidak sampai pada tujuan yg dituju, mereka hanya sampai pada wilayah Baliem Barat. Mereka tinggal di wilayah Baliem Barat (sekarang dikenal dengan Kab. Lani Jaya dan Kab. Tolikara) kurang lebih 6 hari, mulai dari tanggal 09 sampai 14 Maret 1954 sebelum mereka melakukan perjalan pulang.

Akhirnya pada tanggal 19 Januari 1958 Sdr. Audifax Arie Blokdijk pergi ke Wamena untuk Orientasi selama 2 hari (tanggal 19-21 Januari 1958 dan untuk mempersiapkan membuka Pos pertama Gereja Katolik di Baliem. Sdr. Ari Blokdijk pergi ke Lembah Baliem (Wamena-Kab. Jayawijaya) menumpangi sebuah pesawat Norsemen dari Sepic Airways Company, Papua New Guinea. Tanggal ini 19 Januari diabadikan sebagai tanggal mulainya Misi Katolik di Lembah Baliem. Setalah menyelesaikan Orientasi tersebut, Sdr. Ari Blokdijk kembali ke Hallandia (Jayapura) untuk mempersiapkan segala hal untuk Misi tersebut.

Pada tanggal 5 Februari 1958, Uskup Manfred Staverman dan Sdr. Arie Blokdijk bersama dua orang dari Waris, Anton Amo dan Dionisius Lenk Maunda, tiba di Wamena dan mereka mulai mendirikan pos Gereja Katolik yang pertama di Lembah Baliem, yaitu di Wamena, tepatnya di Wesagima atah Wesaima, dekat Kali Wesek.

3. Karya – Karya Fransiskan di Hubulama

Awalnya terasa sulit dan semuanya serba baru, namun hal itu tidak membuat para Misionaris untuk menyerah dan meninggalkan Lembah Balim (Hubulama). Pada hari Minggu tanggal 09 Februari 1958 jam 08.00 pagi, Pater Arie memimpin perayaan Ekaristi Kudus perdana dalam suasana haru bersama dengan 20 orang Katolik di Pos penjagaan Polisi Wesaput. Umat Katolik terdiri dari : Kontrolir (kepala pemerintahan setempat, Bpk. Roel Gonsalves), seorang pegawai pemerintahan, 4 anggota Polisi, 7 orang Ekari dan 2 pemuda dari Waris. Mereka adalah umat Katolik pertama di Wamena, yang kemudian berkembang menjadi paroki Wamena kota.
Perlu diketahui bahwa, sebelum misi Fransiskan masuk ke lembah Hubulama, sudah ada misi penginjilan lain yang sudah terlebih dahulu berkarya di daerah tersebut. Sebut saja seperti CAMA, UFM dan beberapa yang lainnya. Maka sebenarnya timbul pertanyaan, mengapa misi Katolik masih harus datang? 

Satu kemajuan yang luar biasa, yaitu pada tanggal 26 April 1958 Pater Arie sudah menempati pastoran baru yang berukuran 9 X 3 M, walaupun sederhana namun amat berguna bagi Pater Arie di awal-awal misi katolik di Lembah Hubulama. Pada waktu itu kapela yang dibangun belum selesai, maka pesta paskah tahun itu masih dirayakan di pos polisi. Kapela baru digunakan pasa saat pesta Pentakosta pada tahun yang sama. Kapela itu berkapasitas 40-50 orang.

1. Membuka Daerah – Daerah Baru

Pada tanggal 03 Juli 1958 bapak Uskup telah menunjuk Pater Nico Verheyen, OFM sebagai misionaris yang kedua untuk lembah Hugulama. Ia dapat dinantikan dalam waktu dekat dan Pater Nico akan ditempatkan di daerah Hubikiak. Namun rencana tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena Pater Nico mendapat luka dalam suatu kecelakaan motor di Jayapura, sehingga ia harus berobat dalam waktu yang relatif lama. Tak membuang waktu, Pater Arie, OFM segera pergi ke daerah Hubikiak untuk melihat apakah mungkin membuka Pos Gereja Katolik yang baru.

Misionaris yang kedua, yakni Pater Nico Verheyen, OFM tiba dengan selamat di Wamena pada tanggal 10 September 1958. Dengan semangat yang besar ia memulai tugas yang baru di lembah Hugulama. Setelah menjalani masa orientasi di sekitar Wamena, Pater Nico mulai mempersiapkan pembukaan pos misi Katolik yang pertama di luar Wamena, yaitu wilayah suku Hubikiak. Sementara masih berorientasi di daerah Hubikiak, Pater Nico sudah pergi mengunjungi satu daerah yang lebih jauh lagi, yaitu daerah Pelebaga di daerah hulu kali I Bele.

Pada hari Selasa 04 November 1958 Pater Nico mulai menetap di daerah Hubikiak. Dengan membawa sejumlah perlengkapan ia dihantar melalui kali Balim sampai di muara kali Holim. Sehari sebelumnya ia sudah memilih suatu lokasi sementara tidak jauh dari kali Holim. Pada tanggal 10 November di tahun yang sama, Pater Arie dan Pater Nico mengunjungi daerah Hubi-Kosi dengan harapan bantuan dari orang Hubi Kosi, agar misi Katolik dapat masuk lagi ke I Bele.
Pada 11 November 1958 sebuah pastoran baru sudah selesai dikerjakan di Holima, maka Pater Nico secara tetap tinggal di situ. Pastoran ini berada dekat jalan lembah dan juga dekat kali Holim dan kampung Pabiloma. Selain mewartakan Injil, Pater Nico membuka sebuah poliklinik. Melalu Poliklinik tersebut, Pater Nico mendapat banyak kontak juga dengan suku-suku di sebelah Barat Holima dan bersama dengan Pater Arie, mereka mulai mengunjungi daerah tersebut dengan tujuan segera mungkin mumubuka pos yang kedua di luar Wamena.

Pada tanggal 18 Desember 1958, Pater Nico dan Arie pergi ke daerah Musatfak bersama Kepala Suku Kumeleken untuk meilihat situasi dan kondisi di sana. Daerah ini diselidiki lebih lanjut oleh Pater Nico dan akhirnya ia memutuskan untuk menetap di daerah Wetipo- Alua mulai hari Senin tanggal 05 Januari 1959. Sementara mencari Pater Arie mencari suatu lokasi yang cocok untuk Pos misi. Pada hari Kamis, tanggal 08 Januari 1959 mereka mendirikan sebuah tenda sebagai pos kedua di luar Wamena yaitu Musatfak.

Pada tanggal 12 Januari 1959 Br. Eddy van Daal, OFM tiba di Wamena dan ia langsung mulai menangani berbagai tugas di Wesaima yaitu urusan rumah tangga biara OFM, Kebun, pembangunan gedung Gereja dll. Pada awal Februari 1959 Pater Nico mendapat giliran untuk tinggal di Pos misi di Wesaima. Pada waktu di temapt ini, ia memakai kesempatan itu untuk mengunjungi daerah Welesi, Napua dan Pelebaga. Pada tanggal 21 Februari 1959 Gereja Katolik di Lembah Hubulama mendapat tambahan tenaga misionaris. Dia adalah Pater Piet van der Stap, OFM
Tanggal 20 Maret 1959 Pater Nico dan Pater Arie, serta dua penunjuk jalan dan seorang anak dari Musatfak berangkat dari Musatfak mengunjungi daerah Kimbim, mereka berdua sempat bertemu dengan Kepala suku Silo Doga di sana. Namum mereka disuruh unruk kembali ke Wamena. Pada April 1959 pater Nico dan Pater Arie mengadakan perjalan yang kedua ke daerah Kimbim, di sana mereka diterima dengan baik oleh masyrakat, ditambah lagi Pater Nico yang mulai banyak mengobati banyak warga yang sakit. Tidak mengehrankan bahwa diundang oleh warga ke sana ke mari demi suatu pelayanan kesehatan.

Pada tanggal 28 Desember 1959 tibalah Pater Yohanes Jorna, OFM di Wamena dan pada tanggal 07 Januari 1960 ia sudah mulai bertugas sebagai pastor untuk daerah Musatfak, sehingga pater Nico dapat membuka pos misi di daerah Kimbim. (namun Pater Nico kembali gagal dalam membangun pos misi di Kimbim). Setelah menyesuaikan diri dengan situasi di Lembah Hubulama, ia membangun gedung SD Sama dan gedung SD di kampung Pintema (Pindah dari Wanima) dan sebuah honai pastoran Musatfak yang lebih baik dari awalnya.

Dengan berbagai usaha yang dihadapi oleh misionaris dalam membuka pos misi Katolik di Kimbim. Akhirnya, pada pertengahan bulan April 1961, pater Herman Peters, OFM diizinkan untuk membuka pos misi di daerah Kimbim yaitu di Miligatnem. Dengan bantuan masyarakat ia membangun sebuah pastoran, gedung Sekolah dan rumah guru. (Alasan lain Kimbim menerima misi Katolik, karena masyarakat Kimbim takut pada Polisi dan juga terhadap pihak CAMA yang akan membakar adat mereka).

Daerah Siep – Kosi (Yumugima) telah dikunjungi beberapa kali oleh seorang misionaris dan entah apa yang menjadi motivasi mereka, seorang Kepala Suku bernama Hulubuk dari kampung Yumugima datang ke Wesaima pada bulan Mei 1960 dan minta untuk seorang pater datang ke daerah mereka dan menetap di situ. Hal diterima baik oleh pihak misi Katolik. Maka pada tanggal 09 Mei 1960 Pater Piet van der stap, OFM memenuhi undangan tersebut dengan menetap di Yumugima. Masyarakat sangat gembira dengan kedatang pater ini. Pater Piet pindah kembali ke Wesaima dan pekerjaannya diteruskan oleh Pater Frans van Maanen, OFM yang telah tiba di lembah Hugulama pada 31 Oktober 1960. Pater ini berkeliling di sekitar daerah Siep – Kosi bersama dengan Pater Peters sampai daerah Sekan di gunung dan kampung Anelagak di ujung timur. Stasi Yumugima dipakai sebagai batu loncatan misi Katolik ke daerah Kurelu dan Pater Frans van Maanen, OFM ditunjuk untuk membuka misi tersebut.

Simokak – Yiwika Daerah Suku Logo – Mabel. Pada tanggal 01 Desember 1960 Pater Frans memasuki daerah Kurelu dengan maksud untuk menetap di situ. Ia berangkat dari Yumugima, tidak lewat Aikima. Pada waktu melewati kali elokora, Pater Frans bertemu dengan kain Kerulu di kali itu. Pada saat itu Pater Herman Peters, OFM mengenalkan Pater Frans kepala Kelapa Suku Kurelu. Mereka di terima dengan baik. Maka di saat yang sama diputuskan untuk membangun pusat misi di Kampung Simokak. Dengan demikian Gere ja Katolik hadir daerah Kurelu sejak tanggal 01 Desember 1960. Dengan semangat yang besar Pater Frans membangun rumahnya di Simokak.

Pada tahun – tahun enampuluhan terjadi juga banyak mutasi dalam tim pastoral. Contohnya seperti pater Frans Verheyen, OFM yang jatuh sakit dan digantikan oleh Pater Frans Lieshout sebagai pastor Musatfak, namun pada bulan Mei 1967 ia tukar tempat dengan Pater Cris Severins, OFM sebagai pastor di Bilogai. Yiwika ditinggalkan kosong karena pater Frans van Maanen, OFM menjadi pemimpin resor pada bulan April 1965 dan pengganti di Yiwika baru tiba pada Maret 1966, yaitu Pater Frans Verheyen, OFM. Pada waktu yang hampir sama Pater Camps, OFM ditarik ke Jayapura untuk menjadi pembina asrama SMP selama satu tahun lebih. Oleh karena itu kekurangan tenaga, maka yang masih ada harus merangkap dua atau tiga tempat sekaligus. Akibatnya ialah bahwa sejumlah kontak dengan masyarakat menjadi lemah. Hal ini dialami oleh Pater Nico Verheyen, OFM di Paroki Pikhe, kususnya di Hom-Hom di mana tiba-tiba dibuka pos oleh pihak GKI. Pada tahun 1969 datanglah dua orang misionaris OFM provinsi Jakarta untuk membantu misi di Lembah Hubulama. Mereka itu adalah Pater Michael Angkur, OFM dan Br. Ino Kedang.

2. Pendidikan

Sejak awal kehadiran Gereja Katolik di Tanah Papua, Gereja telah mendirikan sekolah-sekolah sebagai pelayanan Gereja kepada masyarakat melalui pendidikan formal, meskipun pada awalnya masyarakat tidak memintannya dan belum menyadari kepentingannya. Misi Katolik di Lembah Hubulama akhirnya memutuskan bahwa pendidikan formal harus cepat dimulai dan menetapkannya sebagai satu bidang pelayanan Gereja untuk mempercepat pembangunan manusia Hubulama. Maka dipilihlah seorang misionaris awam asal Belanda, Bapak Willy Westerink sebagai pemimpim proyek pendidikan di Lembah Hubulama, yang pada tahap pertama meliputi empat SD yaitu, Wamena, Holima, Musatfak dan Wanima.

Pada tahun 03 September 1959 tibalah seorang misionaris awam Katolik, bapak Willy Westerink Lembah Hubulama. Bapa Willy tiba di Wamena bersama dengan guru Karel Patiran. Mereka mempersiapkan segala sesuatu agar sekolah segara dibuka dan proses pembelajaran dilaksanakan. 

Pada tanggal 03 November 1959 diresmikan SD Katolik Wamena, yang sekaligus merupakan SD pertama di Lembah Balim. Guru pertama di SD ini meliputi: bapak Willy W. (Sebagai Kepala Sekolah), Frans Harbelubun, Karel Patiran, David Tewa dan Karel Kamoropeyau). Sekolah keduapun dibuka di Holima pada tanggal 18 Januari 1960 dengan jumlah murid 20 anak. Guru guru mereka antara lain bapak Bas Rettob dan baak Bas Tawa (sementara waktu). Pada 31 Mei 1960 sekolah ketiga dibuka. Tepat SD Wanima. Guru David Tewa ditugaskan di situ dengan jumlah murid 3 samapai 8 orang anak. SD Keempat diresmikan di Musatfak pada 02 Juni 1960 dengan jumalah murid sebenyak 30 murid. Guru pertama ialah bapak Karel Patiran. Dan SD yang kelima dubuka di Yumugima, daerah suku Siep - Kosi pada tanggal 01 November 1960. SD yang dibuka oleh Pater, yakni SD Miligatnem diresmikan pada bulan September 1961 dengan seorang guru muda muda dari (ODO) Fak-Fak dan jumlah muris sebanayk 18 anak. Pater Herman, OFM sudah mulai memberikan pelajaran Agama di Sekolah. Dikemudian hari muncullah sekolah - sekolah Katolik lainnya di Lembah Hubula. Pada bulan Januari 1961 dibangun sebuah sekolah. Pada 01 Februari 1961 Guru Yan Amo mulai mengadakan proses belajar mengajar. Jumlah murid berjumlah 26 anak.

Dengan berbagai pertimbangan, terkait dengan tamatan SD di Hubulama yang setamat SD harus melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi (setara SMP) keluar dari Wilayah Hubulama, maka diputuskan akan dibangun SMP misi bagi tamatan SD di Wilayah Hubulama. Tanah untuk kompleks SMP Misi mulai diratakan pada tahun 1971 dan seterusnya mulai dibangun sebuah gedung Sekolah Menengah Pertama. Gedung ini diresmikan pada pemerintah tertanggal 27 Mei 1971. Mulai terhitung tanggal 01 Januari 1979 SMP Katolik St. Thomas mendapat subsidi dari pemerintah. Kepala sekolah pertama ialah bapak Stef Sumarno, yang mulai dengan 10 murid.

Karya pendidikan yang dipimpin oleh bapak Willy Westerink bersama guru- guru awal sangatlah berkembang. Para guru antara lain : Karel Patiran, David Tewa, Frans Harbelubun, Karel Kamoropeyau (yang sudah disebutkan di atas). Tak lupa patut disebutkan mereka yang lain, Jacobus Emeyauta, Yan Amo, Agustinus Kabes, Ambrosius Mote dan para guru yang lainnya. Di sini tentu masih banyak peran guru baik awam maupun biarawan-biarawati yang tidak dapat disebut satu per satu.
Jauh sesudahnya barulah dibangun sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) Katolik di Wamena. Gagasan pendirian sekolah tersebut datang dari tokoh-tokoh umat di Wamena pada tahun 1993. Pada waktu itu, Pater Frans Lieshout, OFM menjabat sebagai dekan di Hubulama. Pada tanggal 03 April 1995 didirikan SMA Katolik Santo Thomas Wamena. Sekolah ini diresmikan oleh Sekwilda Jayawijaya pada tanggal 24 Juli 1995. Bapak Viktor Kudiai ditunjuk sebagai Kepala Sekolah yang pertama. Dikemudian hari, gedung sekolah ini diberkati oleh, Mgr. Herman M, OFM dan Mgr Leo L, OFM pada 29 September 1998.

3. Permandian Pertama Di Lembah Hugulama

Kapan Gereja Katolik mempermandikan orang di suatu daerah baru seperti di lembah Hubulama? Pada tanggal 04 Agustus 1963 telah dipermandikan lima putera Hubulama oleh Pater Arie Blokdijk, OFM dengan wali baptis bapak Willy Weterink dan Ibu Maria Offermans. Kelima baptisan adalah: Niko Wauw Huby (asal Wamena), Thomas Neleherik Himan (asal Pugima), Yan Abiselek Huby (Asal Pikhe), Petrus Namelek Huby (asal Wesaput) dan Leo Hubi (asal Wesama). Kemudian tanggal 29 Maret 1964 dipermandikan satu pemuda dari kelompok yang sama, yaitu Abraham Iliakot Itlay (Asal Pugima). Di waktu yang akan datang terus bertambah baptisan baru dalam Gereja Katolik.

4. Kursus Kader Gereja 

Pada tahun 1960 sudah dipikirkan dan dibicarakan kebutuhsn akan katekis atau guru agama putra Hubulama, tetapi pada waktu itu belum ada calon-calonnya. Atas dorongan Uskup dan Vikarisnya, maka para misionaris di Hubulama sepakat untuk memulai dengan kursus Katekis yang pertama pada bulan september 1963 di bawa pimpinan bapak Willy, namun karena bapak Willy pulang ke Belanda, maka kursus tersebut ditunda lagi. Syukurlah bahwa keuskupan mendapat tenaga baru yang siap menjalankan tugas tersebut. Dia dalah bapak Frans Stopel, seorang ahli pendidikan dan misionaris awam.

Awal bulan Januari 1964 dimulai dua kursus katekis sekaligus. Kursus itu meliputi, Pertama, Kursus Katekis Dani. Dari kursus ini sebanyak sepeluh orang dinyatakan lulus dan mereka langsung ditugaskan di Pos masing-masing. Mereka dinyatakan lulus pada Desember 1964. Kedua, Kursus Ketekis Umum Keuskupan (yang meliputi kursus Stopel I dan Stopel II). Dari kursus ini dinyatakan 18 belas peserta lulus dan juga mulai ditempatkan di pos mereka masing-masing.

5. Pertanian dan Peternakan

Pada tanggal 02 Desember 1964 datanglah seorang misionaris awam Hans Wieser dari Austria, disponsori oleh aksi puasa jerman, tiba di Wamena untuk memimpin karya pembangunan Gereja dan masyarakat di bidang pertanian dan peternakan. Ia mulai bertugas di Wesaima di mana brudur Eddy, OFM sudah mulai menangani bidang tersebut. Pada bulan Juni 1964, berkat bantuan Oleh David Itlai, ia membeli sebidang tanah (10 Hektar) atas nama Gereja Katolik. Tanah itu terletak di luar Wamena Kota. Tepatnya di Sinapup. Kompleks ini sudah siap pada bulan November 1964 untuk mulai kursus praktek pertanian dan peternakan yang pertama bagi pemuda Hubulama. Kursus ini selanjutnya diselenggarakan setiap dua tahun berturut turut sampai pada tahun sembilan puluhan dan banyak menghasilkan banyak petani yang trampil dan yang kemudia tersebar di seluruh daerah Lembah Hubulama.

6. Pertukangan

Pada tahun 1967 Bruder Henk Blom, OFM (seorang arsitek dan ahli bangunan) tiba di Wamana. Ia segera menata kompleks misi di Wamena yang terdiri dari sejumlah bidang tanah berbentuk persegi tiga. Ia juga menggambar beberapa bangunan berbentuk tiga atau bersayap tiga yaitu: karya mulia, susteran, sekolahan, pestoran, hanggar pesawat dan asrama yang ada di wilayah Hubulama. Setelah pusat karya mulia dibangun secara sangat sederhana, ia mulai mengumpulkan bahan bagi bagunan-bangunan permanen. Perlu dicatat bahwa pada bulan Februari 1972 karya mulia mulai menyelenggarakan kursus pertukangan bagi orang Hubulama. Kursus ini dimulai dengan delapan peserta dan mereka dinyatakn lulus dan berhasil.

7. Paroki –Paroki di Wilayah Hubulama

Wilayah Wamena Timur dan Selatan: Paroki Hebupa (termasuk Welesi dan Pelebaga) menjadi wilayah paroki sendiri pada Agustus 1969 dengan pastor paroki ialah Pater Mikhael Angkur, OFM. Dengan demikian Hepuba menjadi wilayah pelayanan atau peroki tersendiri. Wilayah ini sudah seringkali dilayani oleh Pater Camps, OFM secara rutin. Paroki Welesi daerah ini sudah dikunjungi oleh Pater Nico Verheyen, OFM pada tahun 1959 dan juga pater Camps, OFM pada tahun 1963. Namun menjadi paroki namun pada kenyataan masih dilayani oleh Pater dari Hepuba. Paroki Elagaima, didirikan oleh Pater Michael Angkur bersama pater Dehing, OFM dan Br Eligius Fenentruma, OFM pada bulan Mei 1973. Namun sebenarnya Elagaima sudah dibuka pada tahun 1966 oleh Pater Frans Lieshout, OFM sebagai salah satu stasi dari Wilayah Paroki Musatfak. Paroki Pugima menjadi paroki sendiri pada tahun 1968, dimana Pater Camps, OFM ditugaskan sebagai pastor di situ. 

Sejak saat inilah disebut sebagai paroki.
Wilayah Wamena Barat: Paroki Pikhe, wilayah ini sudah dikunjungi oleh Pater Nico Verheyen pada tahun 1958 sampai pada tahun 1960. Namun menjadi paroki pada oktober 1963 dimana Pater Nico ditugas sebagai pastor yang tetap di situ. Paroki Musatfak, Wilayah ini sudah ditempati oleh beberapa misionaris yang tetap, mulai dari Pater Nico 1959, Pater Jorna 1963, kemudian menyusul Pater Frans Verheyen. Kemudia pada tanggal 05 Mei 1964 Pastor Frans Lieshout menjadi pastor paroki keempat di Paroki Musatfak. Paroki Wo’igi Kimbim, wilayah ini sudah dilayani oleh Pater Herman Peters, OFM pada April 1961. Akan tetapi Pater Jorna OFM mendapat izin untuk menetap sebagai pastor di wilayah ini pada 04 April 1963. Paroki Yiwika, wilayah ini sudah dibuka oleh Pater Frans van Maanen pada tanggal 01 Desember 1960 tepatnya di Simokak. Namun akhrinya pindah di temapt yang sekarang pada tahun 1963, dengan tujuan dibangun sebuah bandara perintis untuk Cesna milik AMA. Kemudia pater Frans van Maanen digantikan oleh Pater Frans Verheyen pada tahun 1966 dan setrus datang tenaga misionaris lainnya, antara lain Pater Camps, OFM yang datang pada tahun 1969. Paroki Wamena Kota, Mula-mula wilayah ini berpusat di Wesaima namun akhirnya dipindahkan ke dalam kota Wamena. Pater Arie menjadi pastor pertama di wilayah ini, kemudian menyusul pater Nico dan para misionaris yang lainnya.

Semoga Bermanfaat

DEWAN GEREJA PAPUA (DGP/WPCC) MENDUKUNG PENUH POSISI USKUP KEUSKUPAN JAYAPURA Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You



(Suara Uskup Jayapura adalah juga suara Dewan Gereja Papua)

Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

"Jangan paksa bangun kantor gubernur di tanah adat Walesi dan Wouma" (Mgr. Yanuarius Theofilus Matopai You)

Apa yang disampaikan Uskup Jayapura adalah juga posisi Dewan Gereja Papua(DGP/WPCC).

Posisi Uskup, Dewan Gereja Papua itu juga adalah posisi saya sejak awal.

Suara Uskup Jayapura yang dikutip ini adalah suara kami juga.

"Lahan masyarakat diganggu, saya tidak akan diam. Sekian lama mereka pakai [lahan itu untuk] berkebun. [Kami menolak lahan itu dijadikan kantor, namun] bukan berarti kami tolak pembangunan". 

Pada tanggal 8 Maret 2020 saya pernah menulis artikel dengan topik: TANAH JANGAN DIJUAL KARENA MILIK TUHAN DAN IBU MANUSIA.

 TUHAN berfirman: “Tanah tidak boleh dijual sama sekali, karena Akulah pemilik tanah itu, sedangkan kamu adalah orang asing dan orang asing bagiku” (Imamat 25:23).

Pesan  ini, Tuhan sampaikan kepada bangsa Israel ribuan tahun yang lalu namun pesan  ini masih relevan dan hidup serta kuat bagi masyarakat Papua Barat di Tanah Melanesia.

 Atas dasar itulah, pada tanggal 27 Februari 2020, penulis pernah menulis dengan judul: DILARANG MENJUAL TANAH ATAU TIDAK MENJUAL TANAH (Kejadian 2:15).

 Penulis masih membagikan tulisan pertama dengan memodifikasi dan memperkuat tulisan pertama.

 Wakil Bupati Mimika, Johanes Rettop menegaskan: 

“Tanpa hutan dan tanah orang Papua tidak bisa hidup, oleh karena itu tanah dan hutan adalah sumber kehidupan orang Papua… Bukankah kita hidup dari menjual tanah, tapi bagaimana kita hidup dari mengolah tanah yang kita miliki.  punya” (SAPA Mimika, Jumat, 6 Maret 2020).

 Sebab, masyarakat Sumatera mempunyai tanah di Sumatera.  Masyarakat Kalimantan mempunyai tanah di Kalimantan.  Orang Bali punya tanah di Bali.  Orang Jawa punya tanah di Jawa.  Orang Madura mempunyai tanah di Madura.  Masy

30 Countries with Highest Christian Population in the World

In this article, we will take a look at the 30 countries with highest Christian population in the world. If you want to skip our discussion on the importance of religious affiliations, you can go directly to the 5 Countries with Highest Christian Population in the World.

Reports indicate that Christianity is the largest religion in the world, representing approximately 31% or 2.6 billion of the world's population. Despite experiencing a decline from 34.5% to 32.3% between 1900 and 2000, data suggests that by 2050, the Christian population in the world will grow to 34.4%, reaching 3 billion individuals. Roman Catholicism stands out as the largest among the three major branches of Christianity, and the Vatican, where Catholicism is the official religion, is considered the 18th wealthiest nation globally in terms of per capita income, despite maintaining financial secrecy. There are many Christian countries in the world, with Italy and the Democratic Republic of Congo being among the top 10 Christian countries in the world. You can also check out the 25 Countries with the Highest Muslim Population in the World here.

The impact of religion on the global economy is significant, with the international religious organizations market expected to reach $449.9 billion in 2026. This would reflect a compound annual growth rate (CAGR) of 6.4%. This market includes the revenue generated by entities primarily engaged in running religious institutions. The rise in disposable income is a key factor influencing the market for religious organizations. Economic advancements and improved financial conditions lead to people engaging actively and making contributions to charitable events within their religious communities. As per the World Economic Forum (WEF), faith-related or inspired businesses contribute an annual sum of $437 billion to the US economy. When incorporating a broader spectrum of religious contributions, the WEF estimates that the US gains $1.2 trillion in socio-economic value each year.


Religious Influences in Corporations

The United States has the highest number of Christians, with 70% of its population adhering to Christianity. Many prominent brands in the country have a strong affiliation with religion, particularly Christianity. One example is Tyson Foods, Inc. (NYSE:TSN), a multinational corporation headquartered in Springdale, Arkansas, specializing in the food processing industry. As the world's second-largest processor and distributor of chicken, beef, and pork, Tyson Foods, Inc. (NYSE:TSN) is deeply rooted in religious principles. Founder John Tyson openly discusses his Christian faith, and the company's core values emphasize the commitment to "strive to honor God." Since the year 2000, approximately 120 office priests have been employed by the company to provide compassionate pastoral care to its employees.

Interstate Batteries, a major distribution industry player headquartered in Dallas, Texas, is another example. The company clearly expresses its religious identity in its mission statement, aiming to "glorify God" by offering customers high-quality, value-priced batteries, related electrical power-source products, and distribution services. Former Company President Norm Miller received recognition from Dallas Baptist University for his Christian leadership at Interstate Batteries and in the community. Another popular company with a notable connection to religion is Chick-fil-A. The company, headquartered in College Park, Georgia, operates over 3,000 restaurants across the United States and Canada. It is the 3rd largest food chain in the US. Chick-fil-A is widely known for its strong Christian beliefs, influenced by its founder, Truett Cathy. Chick-fil-A also honors Christian values by offering fish-based sandwiches during Lent, catering to those who observe Friday fasts and abstain from meat consumption during that season.


Public companies like Marriott International, Inc. (NASDAQ:MAR) and Alaska Air Group, Inc. (NYSE:ALK) have also been known to have strong religious influences. Alaska Air Group, Inc. (NYSE:ALK) was previously known for sharing prayer cards containing Bible passages with all passengers onboard. However, the airline decided to suspend this practice to honor and respect the diverse religious beliefs held by its customers.

Here's what Diamond Hill Capital said about Alaska Air Group, Inc. (NYSE:ALK) in its Q3 2023 investor letter:

“Other bottom contributors included our long positions in Alaska Air Group, Inc. (NYSE:ALK), Target Corporation and Johnson Controls International (JCI). Shares of regional airline Alaska Air Group and general merchandise retailer Target declined during the quarter amid a weakening consumer and (in Alaska’s case) airline pricing environment.”

With this context in mind, let’s take a look at our list of Christian countries in the world.

Our Methodology

https://finance.yahoo.com/news/30-countries-highest-christian-population-083044770.html


To shortlist the 30 countries with the highest Christian population in the world, we used the latest data from the World Population Review. The countries are ranked in ascending order of the size of their Christian population. We have also included the percentage of Christians relative to the total population to offer insights into the dominance of Christianity in these countries.

By the way, Insider Monkey is an investing website that tracks the movements of corporate insiders and hedge funds. By using a consensus approach, we identify the best stock picks of more than 900 hedge funds investing in US stocks. The top 10 consensus stock picks of hedge funds outperformed the S&P 500 Index by more than 140 percentage points over the last 10 years (see the details here). Whether you are a beginner investor or professional one looking for the best stocks to buy, you can benefit from the wisdom of hedge funds and corporate insiders.


Countries with Highest Christian Population in the World

30. Angola

No of Christians: 17,094,000

Percentage of Christians: 75%

Angola has over 81 recognized religious groups and over 1,100 unrecognized ones. Despite this variety, the majority of the population identifies as Christians. Approximately 50% of Angolans identify as Catholics, while 25% affiliate with Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


29. Romania

No of Christians: 18,067,000

Percentage of Christians: 98%

Christianity holds dominance in Romania. As indicated by the 2021 National Census, 85.3% of the population identifies as Orthodox Christians, while 4.5% are Catholics, 3% are Reformed Christians, and 2.5% follow Pentecostal Christianity.


28. Ghana

No of Christians: 19,300,000

Percentage of Christians: 71.2%

Ghana has a large Christian population, with many Ghanaians recognizing their country as a "nation of Christians." According to statistics, 13.1% of the population is Catholic, while 58.1% are affiliated with Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


27. Canada

No of Christians: 22,103,000

Percentage of Christians: 67.3%

Canada, the second-largest country in the world, is known for its diversity in culture as well as religion. Despite this pluralism, the 2021 census indicates that Christianity remains the dominant religion. Of the population, 38.7% identify as Catholic, while 29% affiliate with Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


26. Indonesia

No of Christians: 24,000,000

Percentage of Christians: 10%

Indonesia is a country known for its diverse culture and beautiful landscapes. Following Islam, Christianity is the second-largest religion in the country, with 3% of the population being Catholic and 7% identifying as Orthodox, Protestant, or other denominations.


25. Peru

No of Christians: 27,635,000

Percentage of Christians: 87%

Peru is mainly a Christian country, with more than 80% of its population following the religion. The majority, 77%, are Catholic, while 10% follow Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


24. Venezuela

No of Christians: 28,340,000

Percentage of Christians: 88%

In Venezuela, the impact of the Catholic Church dates back to its colonization by Spain. As per a survey, 71% of the population follows Catholicism, and 17% follow Protestantism.


23. Uganda

No of Christians: 29,943,000

Percentage of Christians: 88.6%

In Uganda, the majority of the population identifies as Christians. Among its population, 41.9% are Catholic, while 46.7% are Protestant, Orthodox, or follow other Christian denominations.


22. India

No of Christians: 30,000,000

Percentage of Christians: 2.3%

Christianity is the third-largest religion in India. The country is home to approximately 1.3% Catholics and 1% followers of Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


21. Tanzania

No of Christians: 31,342,000

Percentage of Christians: 61.4%

Christianity is the dominant religion in Tanzania, followed by Islam. The overall Christian population in the country is reported at 61.4%, with a significant majority being Catholics.


20. Spain

No of Christians: 33,000,000

Percentage of Christians: 71%

Christianity is the oldest religion in Spain. Within the Christian community in the country, 68% identify as Catholics, while 2% affiliate with Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


19. United Kingdom

No of Christians: 33,200,000

Percentage of Christians: 59.3%

The United Kingdom, recognized for its religious diversity, sees Christianity holding the most dominant position. Approximately 8.9% of the population identifies as Catholics, while 50% follow Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


18. Kenya

No of Christians: 34,774,000

Percentage of Christians: 85.1%

Christianity is the dominant religion in Kenya, followed by about 85.1% of the total population. Among Christians, 23.4% are Catholics, and 61.7% are Protestant, Orthodox, or follow other Christian denominations.


17. Ukraine

No of Christians: 34,830,000

Percentage of Christians: 81.9%

Ukraine has a significant Christian population, at 81.9%. Among Christians in Ukraine, 7.5% are Catholics, and the majority, 74.4%, are Protestants, Orthodox, or follow other Christian denominations.


16. Poland

No of Christians: 36,090,000

Percentage of Christians: 94.3%

Poland, located in Central Europe, has a dominant Christian population. Within the Christian community in the country, 86.3% identify as Catholics.


15. Argentina

No of Christians: 37,561,000

Percentage of Christians: 88%

In Argentina, located in South America, about 88% of the population is Christian. Around 74% of individuals are Catholics, while 14% are Protestants, Orthodox, or follow other Christian denominations. The country is at the fifteenth position on our list of the countries with highest Christian population in the world.


14. France

No of Christians: 40,000,000

Percentage of Christians: 63%

Christianity dominates France, where 54% of the population identifies as Catholic, and approximately 4% affiliate with Orthodoxy, Protestantism, or other Christian denominations.


13. South Africa

No of Christians: 43,090,000

Percentage of Christians: 79.8%

Christianity is a popular religion in South Africa, with 5% of the population being Catholics and a majority 75% identifying as Protestants, Orthodox, or other Christian denominations.


12. Columbia

No of Christians: 43,560,000

Percentage of Christians: 92%

Christianity in Columbia was introduced by Spanish colonizers in the 14th century and has been a dominant religion since then. Currently, approximately 79% of the Colombian population identifies as Catholics, while 13% follow Orthodoxy, Protestantism, or other Christian denominations.


11. Germany

No of Christians: 46,600,000

Percentage of Christians: 56.1%

Christianity holds a predominant position in Germany, with more than half of the population identifying as Christians. Within the Christian community, 27.7% are Catholics, while 28.4% follow Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


10. China

No of Christians: 48,220,000

Percentage of Christians: 3%

Despite being a minority religion in China, with 0.3% identifying as Catholics and 2% as Protestants, Orthodox, or followers of other Christian denominations, China is one of the countries with highest Christian population in the world.


9. Ethiopia

No of Christians: 52,580,000

Percentage of Christians: 64%

Ethiopia is acknowledged as the second-oldest Christian country globally, with the introduction of Christianity dating back to the 4th century. According to recent data, 0.7% of the Ethiopian population identifies as Catholics, while a significant majority of 64.4% affiliates with Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.


8. Italy

No of Christians: 53,230,000

Percentage of Christians: 83%

In Italy, 81.2% of the population are Catholics, while 2% are Protestants, Orthodox, or followers of other Christian denominations. Italy is at the eighth position on our list of the countries with highest Christian population in the world


7. Democratic Republic of the Congo

No of Christians: 63,150,000

Percentage of Christians: 92%

Christianity was introduced in the Democratic Republic of the Congo in 1491 and has since remained the most dominant religion in the country. About half of the population are Catholics, while 42% are Protestants, Orthodox, or follow other Christian denominations.


6. Russia

No of Christians: 80,000,000

Percentage of Christians: 65%

Christianity is the most dominant religion in Russia. Around 0.1% of the population identify as Catholics, while 65% follow Protestantism, Orthodoxy, or other Christian denominations.

Several popular companies, including Tyson Foods, Inc. (NYSE:TSN), Marriott International, Inc. (NASDAQ:MAR), and Alaska Air Group, Inc. (NYSE:ALK), are known for incorporating strong religious influences into their corporate identities.


Source: YAHOO

© all rights reserved
made with by templateszoo