Suara Papua / Suara Papua / 2 days ago
Oleh: Nopi Bunai Jr)*
)* Penulis adalah alumnus SMA Negeri 2 Wanggar, Nabire
Orang harus berhati-hati jika ada orang datang dengan penuh senyum. Karena belum tentu ia yang mudah senyum itu berbulu domba – suci. Sama seperti orang lari ke gereja atau kepada Tuhan untuk mau menyembunyikan dosanya. Mereka mencoba menjadi anak domba yang baik. Mereka memperlihatkan kebaikan di awal-awal. Namun, itu biasanya membawa malapetaka bagi manusia pada akhirnya. Di dunia politik, hal ini disebutnya pencitraan.
Hal seperti ini kita bisa mempelajari pada kisah; ular di taman eden, public figure kepada masyarakat jelata, keracunan pada beauty, dan perusahaan e-commerce Amazon yang kian jadi diktator. Tidak lupa juga bagaimana Jakarta dan bunglon-bunglon Papua merayu Papua.
Ular di taman eden. Hawa bersukaria mendengarkan suara ular di pohon khuldi: pohon yang menurut Tuhan Allah, tidak mengizinkan serupaNya (manusia) untuk petik, bahkan makan buah dari pohon tersebut. Namun, Hawa tidak mengindahkan kata-kata Tuhan. Hawa selanjutnya divirusi dengan kata-kata gombalan mematikan dari setan yang menyerupai ular itu.
Orang pertama di dunia jatuh ke dalam dosa. Hanya karena Hawa makan buah segar dan mendengarkan kata-kata manis dari iblis, maka perempuan dan laki-laki pertama dua itu harus angkat kaki dari taman surga – firdaus. Buah segar yang begitu tergila-gila di pandangan Hawa telah tidak bernilai. Hasil dari kelakuannya itu menjadi fatal dalam kehidupan Hawa dan Adam. Kefatalan itu pun telah ditanamkan tidak hanya pada mereka dan anak cucunya, tapi kita juga sedang merasakan hasil kemalangan itu sampai detik ini.
Orang tidak seharusnya salah paham bila kejadian yang sama terjadi di kehidupan manusia. Jika ada orang-orang pintar mendekati dengan segala D3; dana, data, dan daya kepada masyarakat, ditambah lagi lontaran kata-kata susu-manis ke warga, orang tidak seharusnya terlalu percaya penuh dengan omongan dan pertolongan manis mereka. Masyarakat, namun demikian, sebaiknya menghindari umpama Hawa yang ingin cepat tangkap suara dari ular licik itu. Sebab, suara manis yang dibagikan oleh intelektual-intelektual, jangan sampai terjadi hal-hal yang memanipulasi masyarakat dari belakangnya. Di muka terlihat senyum, tetapi dalam hatinya mau meruntuhkan warga. Sebuah strategi yang biasa dilakukan penjajah kepada koloni-koloninya sejagat raya ini.
Juga, kita tidak mengagungkan strategi raja-raja penambang emas dan penebang lahan-lahan sawit di negeri ini, yang sudah diceritakan di film dokumenter Sexy Killers. Elit-elit ini datang menyapa masyarakat setempat dengan sodorkan uang bermiliaran; hasilnya, akan menuai neraka tidak hanya pada pencemaran lingkungan, tapi juga kepada kehidupan manusia di bumi Indonesia.
Menawan tidak berarti baik. Manusia kadang juga tergila-gila sama orang yang penampilan dan badannya yang cukup memikat hati. Setelah seorang pria ketemu seorang gadis, yang dia anggap suka, lelaki melepaskan pasangan atau pacar lamanya begitu saja. Ia akan lanjutkan dengan wanita baru. Ia tidak tahu kalau perempuan baru itu bisa saja menjadi ular mematikan kehidupannya. Laki-laki juga sama.
Selebihnya, kita bisa lihat kenapa Papua masih memimpin klasemen teratas ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di Indonesia. Apakah Papua nama naik dalam ODHA karena gonta-ganti pasangan? Tidak begitu juga, tetapi realita menunjukkan bahwa bergonta-ganti pasangan, atau kata lain, membayangkan orang lain lebih baik dari pasangan kita, rentan mengakibatkan letal.
Selama ini, masalah yang sama, sebuah perusahaan e-commerce terkenal Amerika, Amazon.com, lakukan ke khalayak (pelanggan). Orang tidak menyadari apa yang Amazon garap kepada manusia. Dalam ketidaktahuan orang-orang, sebuah perusahaan milik Jeff Bozes ini mengkolonisasi umat manusia di mana saja dan kapan saja.
Amazon meninabobokan manusia dengan segala yang ia produksi dan miliki. Jeff beli media Amerika terkenal, The Washington Post. Slogannya, “Democracy Dies in Darkness.” Apakah Amazon mau menyembunyikan dosa-dosanya di media ini? Karena Amazon telah dan sedang mulai memata-matai orang dengan device-device yang mereka buat seperti diceritakan dalam dokumenter PBS Frontline baru berjudul: Amazon Empire: The Rise and Reign of Jeff Bezos. Salah satu device-nya adalah Amazon Alexa.
Sebagaimana cerita enak diuraikan pada awal, Amazon menyediakan alat-alat yang menarik untuk baku jual beli. Bagaimana Amazon: awalnya dari toko buku online, sekarang beralih ke toko segalanya (baik fisik maupun online), platform pasar, pengecer grosir, pemasok alat pengawas gadget kapitalis, penyedia cloud computing terbesar, Amazon Web Services (AWS), kontraktor Central Intelligence Agency (CIA), layanan streaming musik, dan studio film dan TV. Juga, Bezos bermimpi mengirimkan manusia ke bulan melalui roket Blue Origin miliknya. Ia berharap generasi-generasi masa depan bisa menghuni di luar angkasa lantaran pertumbuhan orang sangat pesat di bumi ini.
Aneka platform yang Bezos ciptakan itu, apakah akan membawa manusia ke jurang yang tidak bisa tertolong? Atau apakah bos Amazon mengabaikan sebuah buku novel, 1984 oleh George Orwell, tentang dunia distopia? –segala seluk beluk kehidupan sipil dikawal ketat oleh kekuasaan –yang punya uang– kapitalisme sejak Amazon membeli The Washington Post. Bukankah slogan “Democracy Dies in Darkness,” tidak cocok dengan dunia distopia dan anti-demokrasi? Ataukah jangan-jangan slogan itu dimanfaatkan oleh Amazon untuk mematikan kekuasaan manusia? Jika benar ia bermimpi seperti itu, saya hanya membayangkan kita kembali mengundang kolonialisme di era teknologi dewasa ini.
Itulah keberadaan dunia kita saat ini. Di luar kita menikmati hasil belanjaan dari Amazon dengan baik. Kita disuapi dengan Amazon Prime, pengiriman cepat, dan kekuatan AI (artificial intelligence) sehebat Alexa yang menemani kita setiap hari. Tetapi, Amazon Alexa, menurut dokumentasi itu, dikritisi kalau ia adalah sebuah alat yang mengontrol seluk-beluk gerakan dan aktivitas manusia di rumah. Pekerja-pekerja di Amazon, khususnya di tempat kerja seperti di Amazon warehouse, juga diperlakukan tidak adil. Mereka bekerja di bawah tekanan. Mereka harus bekerja seperti robot.
Saya merefleksikan hal-hal di atas ini di Indonesia terhadap Papua. Pada 1967, bagaimana Indonesia dan PT Freeport (Amerika) menandatangani pemboran emas Papua tanpa keterlibatan warga setempat. Lalu, Jakarta dan elit (sebagian) Indonesia dan Papua datang dengan senyum kepada kepala-kepala suku, gereja, dan sekolah di Papua. Akhir dari semuanya itu, tidak menjamin keselamatan rumpun Melanesia bila kita bercermin baik-baik pada hari-hari ini.
Paling menakutkan lagi adalah segelintir orang Papua (terpelajar, intelektual, dan bertitel berceceran) sendiri mempermainkan orang Papua. Mereka melupakan bidang keahliannya, keindependensiannya, dan kemudian pergi menikah dengan pemerintah. Saat mereka di pangkuan pemerintah, mereka dipasang dan disusupi sedemikian rupa oleh pemerintah. Bisa dikatakan robot-robot Jakarta, yang hasilnya melahirkan banyak perselingkuhan antara orang Papua itu sendiri.
Kaum oportunis Papua ini pun men-seduce masyarakat Papua dengan segala harta benda, uang negara. Mereka mereproduksikan kelakuan Jakarta –penyebar pencitraan– yang dibungkusi dengan senyuman palsu mereka.
Kebaikan palsu seperti demikian sudah terbiasa di Papua. Penyakit ini tidak bisa hilang sejak Papua masuk ke dalam Indonesia. Masih ada sampai saat ini. Sayangnya, orang Papua sendiri melakukan hal ini kepada sesama orang Papua. Maka, bukan tidak mungkin bahwa segelintir bunglon ini sungguh-sungguh memperparah dan memperpanjang penderitaan orang Papua.
Bunglon-bunglon Papua ini seharusnya melontarkan sebuah pertanyaan jitu tentang akar persoalan Papua kepada Jakarta. Contohnya, mereka sewajarnya bilang: “bagaimana bisa Papua masih saja jauh dari kata damai (bukan sejahtera) meski negara ini sudah merdeka, bahkan berambut putih, 70an?”.
Atau, “kenapa masyarakat Nduga tidak tenang di rumahnya dan lari menyelamatkan diri ke hutan yang kedua kalinya, selain Operasi Mapnduma pada 1996?”.
Kalau mereka tidak mengajukan pertanyaan seperti ini, kredibilitas mereka bisa saja jatuh gara-gara mereka mendorong sesuatu yang banyak orang Papua sendiri sepenuhnya tidak inginkan dan cita-citakan.
Untuk itulah, saya hanya mengharapkan hal yang ‘manis duluan dan pahit setelahnya’ ini tidak pantas terus terjadi di Papua, khususnya. Karena seseorang memperlihatkan ‘baik itu kadang kotor’ –mematikan orang lain. Pastinya, halus itu duri. Game ini sepantasnya mengeliminasi secara permanen sejak dari pribadi dan pikiran manusia siapa saja. (*)
(Artikel ini telah diterbitkan penulis di blog pribadinya, nopjr.com. Dipublikasikan kembali di Suara Papua atas persetujuan penulis)
The post Halus itu Duri appeared first on Suara Papua.
Visit website
No comments
Post a Comment